ESGNOW.ID, JAKARTA -- DPR RI dan Pemerintah RI telah mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE) pekan lalu. Koalisi masyarakat sipil Indonesia menilai erubahan yang dilakukan justru menghadirkan sejumlah masalah baru.
Dalam pernyataannya, Koalisi Masyarakat Sipil mengatakan perubahan konsep dari undang-undang pengganti menjadi undang-undang perubahan, membuat materi muatan dalam UU KSDAHE belum mampu mengakomodasi kepentingan masyarakat dan belum bisa menjawab tantangan dalam pelaksanaan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya selama ini.
Menurut Koalisi Masyarakat Sipil, disahkannya RUU KSDAHE menjadi undang-undang, maka mempertegas penyelenggaraan konservasi sumber daya alam hayati di Indonesia masih tetap menitikberatkan pada paradigma lama, yakni tiga pilar konservasi pemanfaatan, pengawetan, dan perlindungan. Padahal penting untuk melihat situasi realita dan kenyataan di lapangan.
Selain pemerintah, masyarakat dan masyarakat adat juga memiliki pengetahuan, kearifan, dan kemampuan dalam mengkonservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Titik berat konservasi seharusnya dilakukan secara inklusif dengan mengakui dan menghargai subjek masyarakat dan masyarakat adat sebagai pelaku konservasi.
Kelompok Masyarakat Sipil juga mencatat aspek penting dalam proses pembahasan RUU KSDAHE. Salah satu aspek penting tersebut ialah pengabaian terhadap prinsip partisipasi bermakna dan pembahasan secara tertutup oleh tim Panja RUU KSDAHE dalam proses rapat pembahasan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Tak hanya bermasalah dalam proses pembentukan peraturan, RUU KSDAHE juga dinilai bermasalah secara substansi.
Direktur Eksekutif Satya Bumi, Andi Muttaqien, menyebut Indonesia sebagai salah satu negara yang menyepakati Konvensi Keanekaragaman Hayati pada konferensi COP 15 (CBD COP-15) di Montreal pada 2022 lalu, seharusnya memanfaatkan momentum ini untuk menuangkan komitmen kuat perlindungan keanekaragaman hayati dalam RUU KSDAHE. Salah satu kesepakatan yang dihasilkan dalam konferensi tersebut adalah untuk menghentikan dan memulihkan hilangnya keanekaragaman hayati pada tahun 2030. Oleh karenanya, harus ada target yang terukur dan spesifik dalam setiap ketentuannya.
“Ada pergeseran paradigma konservasi yang tertuang dalam konvensi ini. Salah satunya peran masyarakat adat dalam perlindungan keanekaragaman hayati yang amat jelas disebut di sana. Masyarakat adat memiliki pengetahuan lokal dan peranan krusial yang selama ini mampu menjaga alam dan biodiversitas. Libatkan mereka secara bermakna. Mulai dari perencanaan hingga implementasinya,” kata Andi dalam pernyataan bersama koalisi masyarakat sipil, akhir pekan lalu.
Ayut Enggeliah, dari Perkumpulan Sawit Watch menjelaskan dalam RUU KSDAHE pengaturan fungsi kawasan Areal Preservasi meliputi area penyangga di wilayah konservasi, koridor satwa, kawasan dengan nilai konservasi tinggi, area konservasi kelola masyarakat dan daerah perlindungan kearifan lokal tercantum dapat dikelola yang mempunyai pemegang hak atau izin. Tetapi dengan adanya ketentuan pemegang hak atas tanah di Areal Preservasi wajib melakukan kegiatan konservasi di tanah mereka.
Jika tidak, hak atas tanah akan dicabut kembali hak pengelolaannya. Dalam ketentuan lain, RUU KSDAHE juga menyebutkan hutan adat sebagai salah satu bagian dari dari kawasan padahal hutan adat tidak hanya difungsikan untuk konservasi semata.
"Jelas ketentuan ini berbahaya karena ada potensi negara akan mengatur secara sentralistik, sehingga konflik seperti antara masyarakat adat dengan taman nasional selama ini akan terus berulang,” katanya.