Selasa 26 Sep 2023 20:34 WIB

Amerika Selatan Alami Panas Ekstrem Hingga 43 Derajat Celsius, Mengapa Bisa Terjadi?

Amerika Selatan harusnya sudah memasuki musim dingin, tapi justru panas ekstrem.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Sebagian wilayah di Amerika Selatan seharusnya sudah memasuki musim dingin, namun saat ini justru mengalami panas ekstrem.
Foto: VOA
Sebagian wilayah di Amerika Selatan seharusnya sudah memasuki musim dingin, namun saat ini justru mengalami panas ekstrem.

ESGNOW.ID,  JAKARTA -- Amerika Selatan seharusnya sedang mengalami musim dingin saat ini, akan tetapi sebagian besar benua ini mengalami panas ekstrem yang belum pernah terjadi. Suhu di beberapa wilayah di Brasil, misalnya, menyentuh 110 derajat Fahrenheit atau sekitar 43 derajat Celsius.

Kondisi panas dan kering, yang dipicu oleh pemanasan El Nino di Samudra Pasifik tropis, telah memicu kebakaran hutan dan mengancam mata pencaharian para petani di negara penghasil kopi dan kedelai terbesar itu. Panasnya cuaca, ditambah dengan kurangnya hujan, telah mengganggu awal musim tanam kedelai di Brasil, dan dapat membuat pohon-pohon kopi tidak berbuah. Akibatnya, harga kopi Jawa bisa melonjak secara global.

Baca Juga

“Selalu ada dampak dari kondisi-kondisi ini. Tetapi ini adalah sesuatu yang akan membutuhkan waktu untuk dievaluasi,” kata Jose Braz Mattiello, seorang peneliti di lembaga Funcafe Brasil, merujuk pada produksi kopi di Brasil.

Cuaca panas terparah terjadi di Brasil, di mana suhu tertinggi antara 107 dan 111 derajat Fahrenheit membuat negara ini menjadi salah satu tempat terpanas di dunia. Organisasi cuaca MetSul Meteorologia memperkirakan kondisi di wilayah selatan-tengah dan tenggara negara ini akan menyaingi padang pasir di Arab Saudi, Iran, dan Irak.

Meskipun mungkin terlihat aneh jika musim dingin di negara terbesar di Amerika Selatan ini terasa seperti musim panas di Timur Tengah, kondisi terik ini tidak mengejutkan. Para ilmuwan telah lama memperingatkan bahwa perubahan iklim membuat gelombang panas semakin parah, dan El Nino yang sedang berlangsung hanya memperkuat efeknya. Pada bulan Juli, Bumi terasa sangat panas seperti yang pernah terjadi dalam 120 ribu tahun terakhir.

Institut Meteorologi Nasional Brasil telah mengklasifikasikan cuaca panas ini sebagai bahaya besar, tetapi peningkatan merkuri bukanlah satu-satunya kekhawatiran. Suhu panas dan angin kencang memicu kebakaran hutan di Bahia, sebuah negara bagian di timur laut Brasil.

Lebih jauh ke selatan, asap dari kebakaran hutan telah menyelimuti gedung-gedung dan dilaporkan telah menghalangi navigasi di Sungai Amazon. Cuaca yang menyesakkan juga dapat memicu hujan lebat. Jika badai terjadi, badai tersebut akan menyusul topan yang menyebabkan banjir yang menewaskan puluhan orang dan ribuan lainnya mengungsi di negara bagian Rio Grande do Sul dan Santa Catarina di bagian selatan negara tersebut.

Suhu panas, yang juga melanda beberapa bagian Bolivia dan Argentina, mencerminkan gelombang panas yang jarang terjadi. Warga Buenos Aires mengenakan celana pendek dan mengeluarkan kipas angin untuk menahan panasnya suhu di musim dingin. Langit yang cerah dan sinar matahari yang berlimpah memanaskan tanah dan menyebabkan serangan panas lainnya di Brasil pada akhir Agustus, ketika suhu di Rio de Janeiro menembus 37 derajat Celsius.

"Suhu ini akan terus meningkat," kata seorang ahli meteorologi di Chili seperti dilansir Grist, Selasa (26/9/2023). Perkiraan menunjukkan bahwa musim panas yang akan datang di Brasil akan menjadi musim terpanas yang pernah tercatat di negara tersebut.

Bagi para petani kedelai dan kopi di negara ini, yang menanam lebih dari sepertiga pasokan tanaman tersebut di dunia, hal ini bukanlah kabar baik. Suhu panas ekstrem dan curah hujan yang minim dapat menghanguskan kedelai.

Dan Coffea arabica, spesies tanaman kopi yang dominan di dunia, sangat sensitif terhadap panas, bahkan dalam jangka waktu yang singkat. Itulah salah satu alasan mengapa para peneliti memprediksi pemanasan planet dapat mengurangi jumlah lahan yang cocok untuk menanam biji kopi hingga 50 persen dalam beberapa dekade mendatang.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement