ESGNOW.ID, JAKARTA — Hampir setengah populasi dunia mengalami lebih dari 30 hari cuaca ekstrem panas selama setahun terakhir. Laporan gabungan tiga lembaga ilmiah menyebutkan bahwa kondisi ini tidak mungkin terjadi tanpa pengaruh emisi gas rumah kaca akibat aktivitas manusia.
Laporan bertajuk “Climate Change and the Escalation of Global Extreme Heat” dirilis oleh World Weather Attribution (WWA), Climate Central, dan Red Cross Red Crescent Climate Centre. Kajian ini menganalisis data suhu harian dari 1 Mei 2024 hingga 1 Mei 2025, periode yang tercatat sebagai tahun terpanas dalam sejarah pengamatan.
Temuan utama laporan menunjukkan bahwa perubahan iklim telah melipatgandakan jumlah hari panas ekstrem di 195 negara dan wilayah.
Sebanyak 67 peristiwa panas ekstrem tercatat di seluruh benua, dan tak satu pun terjadi tanpa kontribusi perubahan iklim. Beberapa di antaranya berdampak besar, seperti gelombang panas mematikan di Asia Tengah, Afrika, dan kawasan Mediterania.
Peningkatan suhu ini memicu berbagai dampak, mulai dari krisis kesehatan bagi kelompok rentan, tekanan pada sektor pertanian dan energi, hingga gangguan terhadap infrastruktur.
Di banyak wilayah, lemahnya sistem peringatan dini dan kurangnya data kematian terkait panas memperburuk situasi.
Laporan juga menggarisbawahi efektivitas langkah-langkah adaptasi seperti pengembangan rencana aksi panas dan pemantauan dampak suhu tinggi. Namun, para peneliti menegaskan bahwa upaya adaptasi tidak akan cukup tanpa disertai pengurangan emisi secara drastis, termasuk transisi dari bahan bakar fosil ke energi bersih.
Studi ini menggunakan metode global heat attribution analysis untuk mengukur sejauh mana aktivitas manusia memicu gelombang panas ekstrem. Data dikumpulkan dari 247 negara dan wilayah, serta mengombinasikan ilmu atribusi yang telah ditinjau sejawat.
“Perubahan iklim sudah terjadi dan bersifat mematikan,” ujar Friederike Otto, ilmuwan iklim dari Imperial College London yang terlibat dalam laporan ini. “Setiap barel minyak yang dibakar, setiap ton karbon dioksida yang dilepaskan, memperluas dampak panas ekstrem pada lebih banyak orang.”
Otto menambahkan bahwa solusinya sudah jelas: menghentikan ketergantungan pada bahan bakar fosil dan membangun sistem energi terbarukan yang lebih efisien dan adil.
Peneliti WWA, Mariam Zachariah, menyoroti bahwa perubahan iklim menambahkan satu bulan panas berbahaya bagi sekitar empat miliar orang, setara dengan setengah populasi dunia. “Itu hasil yang mengejutkan,” ujarnya.
Kepala Urban dan Atribusi Red Cross Red Crescent Climate Centre, Roop Singh, mengatakan banyak orang merasakan suhu yang lebih panas, namun tidak menyadari bahwa ini adalah bagian dari dampak perubahan iklim yang akan terus memburuk.
“Kita butuh sistem peringatan dini yang lebih efektif, rencana aksi panas, dan perencanaan kota jangka panjang untuk mengurangi risiko,” kata Singh.
Wakil Presiden Climate Central, Kristina Dahl, menegaskan bahwa panas adalah konsekuensi paling mematikan dari krisis iklim.
“Tak ada tempat yang benar-benar bebas dari dampaknya. Kita memiliki data ilmiah yang menunjukkan bagaimana emisi bahan bakar fosil mengubah suhu harian dan menempatkan miliaran orang dalam risiko.”