Jumat 30 May 2025 09:13 WIB

Krisis Iklim Memburuk, Kutub Utara Diprediksi Alami Pemanasan Ekstrem

Pemanasan akan terus berlanjut selama emisi gas rumah kaca belum menurun.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Matahari tenggelam di Lingkar Kutub Utara (ilustrasi).
Foto: theatlantic.com
Matahari tenggelam di Lingkar Kutub Utara (ilustrasi).

ESGNOW.ID,  JAKARTA — Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) memperingatkan bahwa wilayah Kutub Utara mengalami pemanasan lebih cepat dari bagian bumi lainnya, yakni lebih dari 3,5 kali lipat dibandingkan rata-rata global. Suhu musim dingin global pun diperkirakan meningkat hingga 2,4 derajat Celsius di atas rerata periode dasar 1991–2020.

Dalam laporan terbarunya berjudul Global Annual to Decadal Climate Update 2025–2029, WMO memprediksi perubahan curah hujan yang signifikan di berbagai belahan dunia. Wilayah Sahel, Eropa Utara, Alaska, dan Siberia Utara diperkirakan akan mengalami kondisi lebih basah dari rata-rata, sementara kawasan Amazon justru menghadapi musim kering yang lebih parah.

Baca Juga

Laporan itu juga menyebut bahwa konsentrasi es laut di Laut Barents, Laut Bering, dan Laut Okhotsk selama Maret 2025–2029 akan terus menyusut.

“Peningkatan suhu global melebihi 1,5 derajat Celsius akan berdampak langsung pada masyarakat Indonesia. Cuaca ekstrem sudah terbukti menyebabkan gagal panen, banjir bandang, hingga gelombang panas,” ujar Wicaksono Gitawan, Policy Strategist dari CERAH, dalam pernyataannya, Kamis (29/5/2025).

Ia mendesak pemerintah untuk mempercepat transisi energi, mengingat penggunaan energi fosil yang terus berlangsung berkontribusi besar terhadap naiknya suhu bumi. Menurut Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), pemanasan global jangka panjang ditentukan berdasarkan rata-rata suhu selama 20 tahun.

Saat ini, peningkatan suhu diperkirakan terjadi lebih sering, menunjukkan arah pemanasan global menuju 1,5 hingga 2 derajat Celsius. WMO memperkirakan rata-rata pemanasan global selama periode 2015–2034 akan mencapai 1,44 derajat Celsius.

Dalam periode 2025–2029, peluang suhu global melebihi 1,5 derajat Celsius dari tingkat pra-industri mencapai 70 persen. Ini merupakan lonjakan tajam dibandingkan prediksi dua tahun lalu yang hanya 32 persen, dan menjadi sinyal bahwa dunia semakin dekat dengan ambang batas kritis iklim.

“Pemanasan akan terus berlanjut selama emisi gas rumah kaca belum menurun. Dunia hanya akan berhenti menghangat ketika kita mencapai emisi nol bersih,” ujar Peter Thorne, Direktur Irish Climate Analysis and Research Units (ICARUS), Universitas Maynooth.

Ia menambahkan bahwa peningkatan peluang melampaui batas 1,5 derajat Celsius secara lima tahunan menjadi 70 persen mencerminkan urgensi. “Ini bukan alasan untuk menyerah, justru sebaliknya bahwa kita harus menggandakan upaya mitigasi,” tegasnya.

Yuk gabung diskusi sepak bola di sini ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement