Jumat 21 Jun 2024 12:00 WIB

Desa Konvervasi, Antara Keindahan Alam dan Kemiskinan

Akses masyarakat pesisir terhadap pelayanan dasar masih terbatas.

Rep: Lintar Satria / Red: Satria K Yudha
Foto udara danau air asin kawasan hutan mangrove di Gili Meno, Desa Gili Indah, Pemenang, Tanjung, Lombok Utara, NTB, Senin (23/10/2023).
Foto:

Penelitian SMERU menemukan masyarakat pesisir tidak memiliki opsi mata pencarian alternatif. Annabel mengatakan sebagian besar masyarakat di Laut Sawu berprofesi nelayan dan petani dan sebagai besar pembudidaya rumput laut dan penambang pasir pantai. Profesi pembudidaya rumput laut dan penambang pasir kerap menghadapi tantangan.

Annabel mengatakan kini pasar pasar rumput laut semakin terbatas karena Pergub Nomor 39 Tahun 2022 tentang Tata Niaga Hasil Perikanan. Peraturan tersebut melarang rumput laut kering dijual di luar wilayah daerah.

"Hal ini membuat harga rumput laut menjadi tidak bersaing. Imbasnya pendapatan pembudidaya rumput laut merosot, dan tantangan lainnya munculnya penyu-penyu yang memakan rumput laut sehingga mengurangi rumput laut," kata Annabel.

Sementara, penambangan pasir menyebabkan abrasi pantai. Garis pantai menjadi semakin mundur dan membahayakan yang tinggal di tepi pantai. Padahal, sebagian besar profesi masyarakat Nusa Penida adalah nelayan skala kecil dan pelaku wisata. Karena ada ledakan wisata Nusa Penida sejak tahun 2016. Annabel mengatakan karena itu banyak nelayan yang beralih profesi menjadi pelaku wisata.

Namun ketika pandemi Covid-19 pada 2019 dan 2020, masyarakat yang berprofesi sebagai pelaku wisata terpuruk sehingga mereka kembali beralih menjadi pembudi daya rumput laut. Sejak pandemi, masyarakat menyadari pentingnya memiliki mata pencaharian alternatif.

Masyarakat Minahasa Utara yang banyak bekerja sebagai nelayan dan pekerja konstruksi paling menyadari konsep daerah perlindungan laut (DPL) sejak tahun 2000-an awal. Banyak pihak seperti pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat sudah diversifikasi masyarakat dari sektor perikanan ke sektor pariwisata.

"Lagi-lagi pada tahun 2019 desa-desa yang kami kunjungi sudah dikembangkan untuk argowisata, untuk diving center, kemudian wisata mangrove, masyarakat sudah dilatih untuk menyediakan homestay, tapi ketika pandemi programnya itu tidak berjalan lagi, sehingga masyarakat masih membutuhkan dukungan-dukungan untuk pemasaran untuk produk-produk yang mereka hasilkan," kata Annabel.

Ia mengatakan, pengelolaan kawasan konservasi secara terpusat menemui sejumlah kendala seperti keterbatasan anggaran, wewenang, sumber daya dan kurangnya partisipasi masyarakat. SMERU juga menemukan penyebaran informasi mengenai konservasi, restorasi, dan pengawasan keanekaragaman hayati belum berkesinambungan karena sering kali hanya dilakukan pada awal penetapan kawasan konservasi.

"(Masyarakat) pernah mendengar, tapi mereka tidak mengerti apa sih sebenarnya kawasan konservasi," kata Annabel.

Penelitian SMERU juga menemukan peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir belum diarusutamakan dalam regulasi pemerintah. Hilangnya aspek kesejahteraan dalam revisi peraturan kawasan konservasi menandakan adanya pergeseran prioritas. SMERU mencatat dalam Peraturan Menteri  Kelautan dan Perikanan  No. 2 Tahun 2009 terdapat tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Tapi kemudian aspek kesejahteraan hilang di Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 31 Tahun 2020. 

Yuk gabung diskusi sepak bola di sini ...
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement
Advertisement
Advertisement