ESGNOW.ID, JAKARTA – Pemerintah memperluas cakupan kewajiban sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) bagi pelaku industri sawit untuk memperkuat aspek keberlanjutan sektor strategis ini. Perluasan kewajiban ISPO itu diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2025 tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia yang ditandatangani Presiden Prabowo Subianto pada 19 Maret 2025.
Direktur Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional Kementerian Perdagangan Farajini Punto Dewi mengatakan, perpres itu dibuat untuk menjaga keberlanjutan industri sawit yang menjadi salah satu mesin pertumbuhan ekonomi.
“Kita tahu industri sawit punya kontribusi yang sangat signifikan bagi perekonomian. Tapi, tentu kita harus jaga aspek keberlanjutannya,” kata Punto dalam kegiatan “UOB Media Editor Circle di UOB Plaza, Jakarta, Selasa (22/4/2025).
Punto mengatakan, kontribusi sawit terhadap ekspor nasional mencapai 12 persen, tertinggi kedua setelah bahan bakar mineral. Sektor ini juga menyumbang 2,5 hingga 4,5 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
“Sawit ini adalah ‘mutiara hitam’ yang perlu dijaga keberlanjutannya. Dan kami di Kemendag terus mempromosikan bahwa industri sawit kita sudah menerapkan prinsip praktik berkelanjutan,” kata dia.
Perpres Nomor 16 Tahun 2025 memperluas kewajiban ISPO yang sebelumnya hanya berlaku untuk perkebunan sawit, kini juga diberlakukan pada industri hilir dan usaha bioenergi berbasis sawit.
“Kalau sebelumnya ISPO hanya di hulu, sekarang kewajiban itu meluas sampai ke hilir. Ini bentuk keseriusan kita menjaga keberlanjutan secara menyeluruh,” tegas Punto.
ISPO merupakan sertifikasi wajib yang mengintegrasikan prinsip keberlanjutan dalam rantai pasok sawit di Indonesia. Selain ISPO, pemerintah juga mendukung penerapan RSPO (Roundtable on Sustainable Palm Oil) untuk memenuhi standar internasional.
Dari sisi pelaku industri, Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Mukti Sardjono menyatakan bahwa anggota GAPKI telah mematuhi kewajiban sertifikasi ISPO. Namun, tantangan besar masih dihadapi dalam penerapan sertifikasi pada perkebunan sawit rakyat.
“Hingga Juni 2024, sudah sekitar 5,1 juta hektare lahan bersertifikasi ISPO dari total 16 juta hektare lahan sawit. Yang menjadi PR kita adalah kebun rakyat. Jumlahnya masih kecil, baru sekitar 66 koperasi,” jelas Mukti.
Ia menyambut baik rencana pemerintah yang akan menanggung biaya sertifikasi ISPO bagi petani kecil. “Kalau memang dibiayai pemerintah, itu sangat membantu. Karena cost-nya cukup besar bagi pelaku usaha kecil,” tambahnya.
Dukungan terhadap keberlanjutan juga datang dari sektor keuangan. Ernest Tan, Head of Consumer Goods and Healthcare Solutions Group dari UOB, menegaskan bahwa bank memiliki peran penting sebagai fasilitator untuk mendorong transisi menuju industri sawit berkelanjutan.
“ISPO menjadi salah satu sertifikasi yang kami akui dalam skema pembiayaan hijau kami. Kami percaya keberlanjutan adalah soal daya tahan dan masa depan sektor ini,” kata Ernest.
UOB sendiri telah mengembangkan skema green trade finance sejak 2021 untuk mendukung perdagangan minyak sawit berkelanjutan, menjadikan industri sawit sebagai sektor pertama yang mendapat dukungan skema tersebut.
Dengan langkah konkret pemerintah dan dukungan lintas sektor, Indonesia diharapkan mampu memperkuat posisi industri sawit tidak hanya sebagai penggerak ekonomi, tetapi juga sebagai model keberlanjutan global.