ESGNOW.ID, TOKYO — Penurunan populasi di wilayah pedesaan Jepang berdampak signifikan terhadap hilangnya keanekaragaman hayati. Temuan ini diungkap dalam studi terbaru yang dipublikasikan di jurnal Nature Sustainability.
Penelitian kolaboratif antara University of Sheffield, Tokyo City University, dan Kindai University menunjukkan bahwa lahan-lahan kosong akibat depopulasi tidak serta merta pulih secara ekologis tanpa intervensi. Alih-alih kembali alami, lanskap yang ditinggalkan justru menghadapi degradasi jika tidak dikelola secara aktif.
Para peneliti menyoroti perlunya kebijakan yang menyeimbangkan antara pemulihan ekosistem dan pertumbuhan ekonomi. Jepang, dalam hal ini, disebut sebagai “Negara Pelopor Depopulasi” (Depopulating Vanguard Country/DVC) di Asia Timur — tren yang juga mulai terlihat di Korea Selatan dan Cina.
“Jepang salah satu dari banyak negara yang tren demografinya berada di titik penurunan populasi jangka panjang,” kata Dosen Sastra Jepang University of Sheffield, Peter Matanle, Rabu (18/6/2025), seperti dikutip dari Phys.org.
“Kami menemukan keanekaragaman hayati tidak tumbuh seiring dengan berkurangnya populasi. Hal ini mengindikasi dampak serupa di kawasan-kawasan lainnya di seluruh dunia,” katanya.
Matanle menyebut Italia sebagai DVC untuk Eropa Selatan, serta Bulgaria dan Latvia sebagai DVC di Eropa Timur. Tim peneliti kini berencana memperluas studi ke Eropa dan Amerika Latin.
Studi ini menganalisis data populasi, penggunaan lahan, dan suhu dari daerah pedesaan di seluruh Jepang. Data tersebut lalu dibandingkan dengan kondisi populasi 464 spesies burung, kupu-kupu, kunang-kunang, katak, serta 2.922 jenis tumbuhan lokal maupun non-lokal dalam rentang waktu 2004–2021.
Sebanyak 1,5 juta titik data dikumpulkan dari ilmuwan warga di seluruh Jepang yang menghitung keberadaan organisme di wilayah masing-masing. Hasilnya menunjukkan, penurunan maupun peningkatan jumlah penduduk sama-sama berdampak negatif terhadap keanekaragaman hayati.
Para peneliti menilai, hilangnya biodiversitas lebih disebabkan oleh perubahan pola penggunaan lahan, baik karena urbanisasi, pengabaian, maupun intensifikasi pertanian.
“Sejak dulu keanekaragaman hayati di Jepang ditopang praktik mata pencaharian tradisional di pedesaan seperti pertanian padi, pengelolaan hutan dan tanah, serta pemeliharaan lanskap pedesaan,” ujar Ken Uchida, dosen Tokyo City University.
Ia menambahkan, praktik-praktik tersebut membentuk dan menjaga kekayaan ekologi Jepang selama berabad-abad. Namun ketika populasi menurun, intervensi manusia menjadi tidak merata, sehingga mempercepat degradasi lingkungan.
“Pola perubahan yang tidak merata ini menghasilkan lanskap mosaik yang mempercepat degradasi lingkungan pedesaan dan merusak keanekaragaman hayati yang disokongnya,” kata Ken.
Ia menegaskan bahwa studi ini bisa menjadi pelajaran penting bagi negara-negara lain di Asia Timur yang tengah menghadapi tren serupa. “(Penelitian ini) juga berkontribusi pada pengetahuan tentang dampak depopulasi manusia di seluruh dunia,” katanya.