Sabtu 26 Jul 2025 23:35 WIB

Menteri LH Tegaskan Keseriusan Indonesia Memimpin Diplomasi Iklim Global

Indonesia menekankan pentingnya dukungan berkelanjutan dari UNFCCC.

Rep: Lintar Satria/ Red: Ahmad Fikri Noor
Menteri LH Hanif Faisol Nurofiq (tengah)
Foto: Dok Republika
Menteri LH Hanif Faisol Nurofiq (tengah)

ESGNOW.ID,  JAKARTA – Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) menegaskan kepemimpinan Indonesia dalam diplomasi iklim global. Dalam pertemuan bilateral dengan Kantor PBB untuk Koordinasi Kerja Perubahan Iklim (UNFCCC) di Jakarta, Menteri Lingkungan Hidup/Kepala BPLH Hanif Faisol Nurofiq menyoroti kesiapan Indonesia meluncurkan dokumen Second Nationally Determined Contribution (NDC) versi 3.0 sebagai senjata utama menjelang Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP30) di Belém, Brasil, pada November 2025.

Dalam pernyataannya, Hanif menjelaskan Second NDC 3.0 menggunakan tahun referensi 2019 sebesar 1.147.453.000 ton karbon dioksida ekuivalen tahun 2030 dengan menetapkan target pengurangan emisi gas rumah kaca sebesar 440.267.000 ton karbon dioksida ekuivalen pada tahun 2030 dan sebesar 525.410 ton karbon dioksida ekuivalen pada tahun 2035.

Baca Juga

"Penyusunan dokumen dilakukan secara inklusif dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan serta terintegrasi dalam agenda pembangunan nasional,” kata Hanif dalam pertemuan yang dihadiri dihadiri Executive Secretary UNFCCC, Simon Stiell, Sabtu (26/7/2025).

Indonesia menekankan pentingnya dukungan berkelanjutan dari UNFCCC, khususnya dalam implementasi kebijakan, penguatan kapasitas, dan pengaturan pasar karbon, termasuk pemanfaatan Pasal 6 Perjanjian Paris. Dukungan ini akan mempercepat transisi menuju ekonomi hijau, memperluas akses pembiayaan iklim, serta menciptakan lapangan kerja berkelanjutan.

Stiell mengingatkan Indonesia perlu terus meningkatkan ambisi iklim, mengingat tingginya ketergantungan pada bahan bakar fosil yang masih mendominasi 75 persen bauran energi nasional. Transisi ke energi bersih tidak hanya krusial secara ekologis, tetapi juga menjadi peluang ekonomi yang signifikan.

Stiell menyoroti investasi global di sektor energi bersih mencapai 2 triliun dolar AS tahun lalu. Jika dimanfaatkan optimal, Indonesia berpotensi memperoleh pengembalian hingga 600 miliar dolar AS, menciptakan 14 juta lapangan kerja hijau, dan memperkuat daya saing ekonomi nasional.

Stiell menilai NDC 3.0 sebagai sinyal kuat bahwa Indonesia siap memimpin transisi energi global, sejalan dengan target pertumbuhan ekonomi 8 persen per tahun. Hanif menegaskan komitmen iklim Indonesia harus realistis dengan mempertimbangkan kondisi sebagai negara berkembang.

Ia mengatakan transisi menuju ekonomi hijau memerlukan langkah bertahap, dukungan sumber daya besar, dan kerja sama lintas sektor. Hanif mengatakan Kementerian Lingkungan Hidup memperkuat koordinasi antar kementerian dan lembaga untuk memastikan NDC 3.0 ambisius namun tetap seimbang antara pembangunan ekonomi dan perlindungan lingkungan.

Pemerintah juga mendorong sektor energi dan kehutanan sebagai penyumbang emisi utama untuk meningkatkan kontribusi penurunan emisi. Strateginya mencakup percepatan penghentian PLTU batubara, pencegahan kebakaran hutan dan lahan, serta penguatan target sektor Forestry and Other Land Use (FOLU).

Stiell menegaskan kembali pentingnya integritas lingkungan dan manfaat finansial berjalan beriringan.

“Negara berkembang seperti Indonesia yang memiliki kekayaan alam tinggi layak mendapatkan dukungan dalam membangun sistem pasar karbon yang kredibel dan transparan. Peran G20 sangat krusial dalam memastikan distribusi beban ambisi iklim yang adil dan proporsional,” kata Stiell.

Hanif mengatakan NDC 3.0 akan menjadi dokumen transisi menuju periode pelaksanaan 2031–2035 sekaligus mencerminkan arah pembangunan jangka menengah Indonesia. Saat ini, Kementerian Lingkungan Hidup juga mempersiapkan skenario penurunan emisi pasca-2030 sebagai bagian dari peta jalan menuju net-zero emission 2060 atau lebih cepat.

Transisi menuju ekonomi hijau akan mencakup pengakhiran bertahap penggunaan batu bara yang memerlukan hilirisasi industri dan pembiayaan besar. Oleh karena itu, Hanif mengusulkan agar UNFCCC memfasilitasi forum regional untuk memperkuat dialog antar-negara dan memberikan arahan teknis terkait penguatan voluntary carbon market sebagai bagian dari percepatan operasionalisasi pasar karbon Indonesia.

Pertemuan ini menjadi tonggak penting diplomasi iklim Indonesia menjelang COP30, sekaligus menegaskan keseriusan Pemerintah Indonesia dalam memimpin aksi iklim global dengan tetap menjaga agenda pembangunan berkelanjutan dan pertumbuhan ekonomi nasional.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement