Selasa 22 Jul 2025 15:08 WIB

Penambahan Pembangkit Fosil Hambat Target Energi Terbarukan Indonesia

Penambahan 46 juta ton emisi per tahun dinilai kontraproduktif untuk dekarbonisasi.

Rep: Lintar Satria/ Red: Gita Amanda
Sektor energi yang menyumbang 55 persen dari total emisi nasional hanya ditargetkan menyumbang 27 sampai 33 persen bauran energi terbarukan. (ilustrasi)
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Sektor energi yang menyumbang 55 persen dari total emisi nasional hanya ditargetkan menyumbang 27 sampai 33 persen bauran energi terbarukan. (ilustrasi)

ESGNOW.ID,  JAKARTA -- Dalam rencana pemangkasan emisi terbaru (Second NDC), pemerintah menargetkan penurunan emisi sebesar 43 persen pada 2030 dan 60 persen pada 2035. Namun, sektor energi yang menyumbang 55 persen dari total emisi nasional hanya ditargetkan menyumbang 27 sampai 33 persen bauran energi terbarukan pada 2035.

Policy Strategist dari CERAH, Sartika Nur Shalati, menilai pemerintah seharusnya tidak hanya fokus menaikkan bauran energi terbarukan, tetapi juga menghentikan penggunaan pembangkit listrik berbahan bakar fosil. Ia mencatat, meskipun persentase bauran energi hijau meningkat, pemerintah tetap menambah kapasitas energi fosil tanpa rencana pengurangan yang konkret dan signifikan.

Baca Juga

Dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2025–2034, pemerintah masih menargetkan penambahan kapasitas pembangkit listrik fosil dari gas sebesar 10,3 GW dan dari PLTU sebesar 6,3 GW.

“CERAH memperkirakan, jika dihitung menggunakan emission factor dan capacity factor rata-rata, tambahan kapasitas ini berpotensi menghasilkan sekitar 46 juta ton karbon dioksida per tahun. Jumlah ini jelas kontraproduktif terhadap upaya dekarbonisasi sektor energi,” kata Sartika, Senin (21/7/2025).

Angka tersebut, tambahnya, belum termasuk emisi dari pembangkit fosil yang sudah beroperasi maupun dari PLTU captive, yang diperkirakan mencapai 26 GW pada 2026. PLTU captive sebagian besar digunakan untuk memasok listrik ke fasilitas smelter nikel, bahan baku utama baterai kendaraan listrik.

“RUPTL tidak menyajikan roadmap yang jelas terkait penurunan bertahap (phase-down) pembangkit fosil, khususnya PLTU mana yang akan dipensiunkan. Bahkan program pensiun dini PLTU masih sangat terbatas, karena pertimbangan pendanaan menjadi faktor penentu utama,” ujarnya.

Sartika mencatat hingga saat ini, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia baru mengonfirmasi hanya satu PLTU yang akan dipensiunkan, yakni PLTU Cirebon, menggunakan dana dari Asian Development Bank (ADB). Ia menyatakan, tanpa kebijakan pensiun dini yang menyeluruh, penambahan energi terbarukan justru berjalan berdampingan dengan ekspansi energi kotor, bukan sebagai pengganti.

Sartika menegaskan, transisi energi yang memberi ruang besar bagi bahan bakar gas sebagai “energi jembatan” justru berisiko menciptakan ketergantungan jangka panjang terhadap infrastruktur fosil yang memiliki masa pakai hingga 30 tahun ke depan.

“Agar investasi ini tidak merugi, ada kecenderungan kuat dari pemerintah maupun pelaku usaha untuk terus memaksimalkan utilitasnya,” ucapnya.

Akibatnya, transisi menuju energi terbarukan menjadi lambat karena energi bersih harus bersaing dengan infrastruktur lama yang sudah dibangun. Menurut Sartika, pemerintah terkesan lebih mementingkan pengembalian investasi dari PLTU sebelum dipensiunkan. “Tanpa koreksi arah yang tegas, gas bukan lagi sekadar jembatan, tapi jalan buntu menuju ketergantungan baru yang berisiko mahal secara ekonomi dan lingkungan,” ujarnya.

Yuk gabung diskusi sepak bola di sini ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement