ESGNOW.ID, JAKARTA -- Meningkatnya permintaan air akibat pertumbuhan populasi global, ditambah dengan meningkatnya frekuensi kejadian cuaca ekstrem, membahayakan ketahanan air. Meski demikian, tidak banya yang diketahui tentang hubungan penggunaan air oleh berbagai sektor (rumah tangga, irigasi, energi termoelektrik, manufaktur, dan peternakan) dengan terjadinya kekeringan dan gelombang panas, terutama pada skala besar.
Untuk mengeksplorasi masalah ini, sekelompok peneliti dari Departemen Geografi Fisik dari Utrecht University Belanda mengevaluasi respons penggunaan air sektoral selama kekeringan, gelombang panas, dan gabungan keduanya pada skala global.
Penelitian yang berjudul 'Sectoral water use responses to droughts and heat waves: analyses from local to global scales for 1990-2019' yang diterbitkan dalam Environmental Research Letters, menunjukkan bahwa respons penggunaan air sektoral yang lebih kuat ditemukan saat gelombang panas dibandingkan dengan dampak selama kekeringan.
Penelitian ini merupakan penelitian global pertama yang mengukur respons penggunaan air sektoral dalam kondisi kekeringan ekstrem, gelombang panas, dan gabungan antara keduanya. Respon penggunaan air sektoral dipahami sebagai bagaimana praktik penggunaan air sektoral dipengaruhi oleh terjadinya kekeringan, gelombang panas, dan kejadian majemuk, yang dapat menyebabkan peningkatan dan penurunan penggunaan air atau tidak menunjukkan reaksi tertentu terhadap kondisi ekstrem hidroklimat tersebut.
“Kami fokus pada air yang digunakan oleh berbagai sektor, yaitu irigasi, peternakan, rumah tangga, energi, dan manufaktur, karena kami mengharapkan adanya respons khusus terhadap terjadinya berbagai kejadian ekstrem," kata Gabriel Cardenas Belleza, kandidat PhD di Utrecht University dan penulis utama publikasi ini, seperti dilansir Phys, Kamis (12/10/2023).
Analisis menunjukkan bahwa kejadian ekstrem selama 30 tahun terakhir memiliki dampak yang besar terhadap pola penggunaan air, namun respon ini sangat berbeda di setiap sektor dan wilayah di seluruh dunia.
"Faktor sosial-ekonomi dan rencana pengelolaan air publik sangat memengaruhi respons penggunaan air, dan terlebih lagi saat terjadi peristiwa ekstrem. Sebagai contoh, ketika Amerika Serikat bagian barat mengurangi penggunaan airnya selama cuaca ekstrem, Amerika Serikat bagian tengah justru meningkatkannya," kata Cardenas.
Selain itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa sektor domestik dan irigasi, secara umum, memiliki prioritas tertinggi dalam penggunaan air di seluruh dunia. Namun, langkah-langkah yang lebih ketat diambil untuk mendukung sektor domestik selama cuaca ekstrem.
Analisis ini juga menunjukkan bahwa gelombang panas dan fenomena gabungan (gelombang panas-kekeringan), memiliki dampak yang lebih kuat terhadap penggunaan air dibandingkan dengan kekeringan semata.
"Gelombang panas dan kejadian majemuk dapat menyebabkan penggunaan air yang lebih tinggi sebagai konsekuensi dari peningkatan sementara permintaan air di bawah suhu tinggi, yang masih dapat dipenuhi karena durasi yang singkat dari kondisi ekstrem tersebut, dibandingkan dengan kejadian yang berlangsung lebih lama seperti kekeringan," kata Cardenas.
Hasil penelitian ini menunjukkan urgensi pengumpulan lebih banyak data penggunaan air untuk lebih memahami implikasi kejadian ekstrem dan perubahan iklim pada berbagai sektor penggunaan air, serta untuk meningkatkan penilaian kelangkaan air di masa depan.
"Penelitian kami merupakan langkah awal untuk mengevaluasi perilaku penggunaan air multisektoral selama cuaca ekstrem. Namun, lebih banyak informasi berskala lokal dari wilayah yang minim data, seperti Afrika dan beberapa bagian Asia serta Amerika Selatan, diperlukan untuk lebih memahami perilaku penggunaan air sektoral dan meningkatkan strategi pengelolaan air," kata Cardenas.