ESGNOW.ID, JAKARTA -- Manajer Analisa Kebijakan Publik Wahana Lingkungan (Walhi) Satrio Manggala menilai paradigma konservasi dalam revisi Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE) tidak berbasis hak asasi manusia. Walhi mencatat setidaknya ada tujuh hal krusial dari perubahan UU tersebut.
"Ada tujuh catatan terhadap pengesahan UU KSDAHE yang mana belum dianggap penting tapi cukup krusial bagi kami. Pertama soal bagaimana mekanisme penetapan, baik penetapan lokasi wilayah konservasi maupun wilayah preservasi," kata Satrio, Senin (15/7/2024).
Satrio mengatakan revisi UU KSAHE seharusnya sudah menggunakan paradigma konservasi yang baru. Ia mengatakan pada prinsipnya paradigma lama mengeksklusi keberadaaan komunitas masyarakat lokal atau adat.
Ia mengatakan, eksklusi itu dilakukan dengan tata cara mekanisme penetapan yang sentralistik tanpa melibatkan free, prior, and informed consent (FPIC) atau persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (padiatapa), sehingga seakan menganggap wilayah konservasi sebagai ruang hampa atau ruang kosong.
Hal tersebut, kata dia, sama saja dengan mengeliminasi atau tidak mengakui pengetahuan dan upaya tata kelola konservasi empirik masyarakat adat dan masyarakat lokal di wilayah yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi.
Satrio mengatakan masyarakat adat atau masyarakat lokal memiliki pengetahuan turun-temurun dalam upaya-upaya konservasi atau tata kelola yang lestari dan seimbang dengan alam. "Persoalan krusial kedua, di satu sisi kebijakan konservasi ini dibilang mau menyelamatkan alam dengan catatan dengan tata cara yang paradigmanya tidak berbasis hak asasi manusia, mengeksklusi, tapi di sisi lain tidak sepenuhnya RUU terbaru ini mengatur perlindungan lingkungan," katanya.
Sebab, kata Satrio, UU konservasi terbaru ini memasukkan dua hal aktivitas yang bisa dilakukan tapi juga merusak lingkungan. Pertama, pemanfaatan jasa lingkungan untuk panas bumi dan kedua adalah pemanfaatan jasa lingkungan untuk karbon.
Satrio menjelaskan langkah konservasi apa pun seperti menanam pohon dan lain-lain pasti akan menyerap karbon. Tapi pemberian terminologi pemanfaatan jasa karbon berpotensi memberikan skema komodifikasi karbon untuk perdagangan karbon. "Sehingga melahirkan produk-produk kebijakan yang untuk memberikan konsensi-konsensi karbon yang berpotensi justru konflik dengan masyarakat," kata Satrio.
Ia mencontohkan dalam catatan Walhi mengenai program REDD+ yang secara faktual gagal dan mengeksklusi masyarakat untuk bisnis karbon. Satrio menambahkan, dimasukkannya pemanfaatan jasa lingkungan untuk panas bumi dalam RUU konservasi artinya sumber daya panas bumi dapat diekstraksi untuk pembangkit listrik geothermal. Sementara teknologi untuk mengekstraksi panas bumi berdampak pada lingkungan.
"Pertama gempa bumi minor saat mengekstraksinya karena pengeboran, kedua, pencemaran air karena pasti ada semburan dari pengeboran dan amblesan, retakan tanah di sekitarnya akan mengakibatkan amblesan," kata Satrio.
Ia mengatakan Walhi mencatat banyak sekali dampak lingkungan dalam upaya ekstraksi panas bumi seperti di Banyumas dan Sorikmarapi. Satrio mengatakan beberapa kejadian ekstraksi panas bumi di Sorikmarapi mengakibatkan keracunan bagi warga sekitar.
Maka, kata Satrio, tidak masuk akal apabila upaya melindungi lingkungan tapi juga mengizinkan ekstraksi panas bumi. Ia mengatakan fauna dan flora akan terganggu dalam aktivitas ekstraksi panas bumi. "Fauna mana yang tidak melarikan diri atau pun terganggu pemanfaatan jasa lingkungan di wilayah konservasi, agak ambigu memang kebijakan konservasi dalam RUU ini," katanya.
Satrio mengatakan hal krusial yang menjadi catatan dari UU KSDAHE yang baru adalah tidak adanya sanksi perdata bagi korporasi yang melakukan pelanggaran di wilayah konservasi. Ia mengatakan sebagai efek jera selain pemberian denda sebagai sanksi pidana seharusnya juga ada sanksi perdata pada korporasi.
"Kelima, mekanisme pemulihan yang sama sekali tidak ada. Bagaimana wilayah konservasi tapi wilayahnya mengalami kerusakan atau mengalami pencemaran cukup parah akibat pemberian konsesi perizinan di wilayah konservasi. Ini tidak diatur," katanya.
Jika merujuk ketentuan dalam UU PPLH (Undang-undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup) yang telah diubah dengan Perpu Cipta Kerja, sanksi administratif tidak membebaskan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari tanggung jawab pemulihan dan pidana. Artinya, perumusan norma sanksi administratif tidak menutup pengenaan sanksi pidana bagi pelanggar.
"Keenam hak gugat, ini menyambung ke sanksi perdata tadi yang seharusnya memberi pada pemerintah, organisasi lingkungan hidup dan masyarakat," katanya.
Ia mengatakan norma hak gugatan ini memiliki acuan hukum karena norma itu juga diatur dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Hak Gugat.
"Terakhir, sanksi pidana sama sekali itu tidak menyentuh biopiracy atau perampokan sumber-sumber genetik yang dimiliki Indonesia, kejahatan biopiracy ini kejahatan transnasional yang seharusnya dikunci di RUU yang terbaru," katanya.