ESGNOW.ID, BEIJING -- Dalam laporan khusus di Carbon Brief peneliti senior Asia Society Policy Institute, Lauri Myllyvirta, mengatakan pada Mei lalu hanya 53 persen listrik Cina yang diproduksi dari batu bara. Sementara listrik dari bahan bakar non-fosil terus tumbuh menjadi 44 persen.
Ia mengatakan bila tren ini berlanjut maka mengindikasi emisi karbon mungkin sudah mencapai puncaknya tahun lalu. Pada Mei 2023 lalu baru mencakup 60 persen dari total listrik yang produksi Cina.
Pada Mei tahun ini pembangkit listrik tenaga surya mencakup 12 persen dan angin 11 persen setelah Cina terus menambah kapasitas untuk sumber-sumber energi terbarukan itu. Sementara sumber tenaga hidro 15 persen, nuklir lima persen dan biomassa 2 persen.
Peningkatan pembangkit listrik energi terbarukan mendorong emisi karbon dioksida dari industri energi yang mencakup 40 persen dari total emisi Cina, pada bulan Mei tahun ini turun 3,6 persen.
"Bila kecepatan penggunaan energi angin dan surya berlanjut, maka keluaran CO2 Cina kemungkinan akan terus turun, membuat 2023 menjadi puncak keluaran emisi negara itu," tulis Myllyvirta, dikutip Rabu (17/7/2024).
Analisa Myllyvirta tahun lalu untuk Centre for Research on Energy and Clean Air yang berbasis di Helsinki menunjukkan emisi Cina dapat mengalami "penurunan struktural" dari tahun 2024. Analisa di Carbon Brief menemukan penggunaan pembangkit listrik tenaga surya pada bulan Mei tahun ini tembus rekor dengan kenaikan 78 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu menjadi 94 terawatt per jam (TWh).
Data dari Biro Statistik Nasional Cina menunjukkan kenaikan 29 persen. Tapi tidak menghitung panel surya atap dan karena itu melewatkan hampir setengah energi yang dihasilkan pembangkit listrik tenaga surya. Asosiasi industri energi terbarukan mengatakan analisa terbaru menghitung energi yang dihasilkan pembangkit listrik tenaga angin dan surya data kapasitas pembangkitan listrik dan angka pemanfaatan dari Dewan Listrik Cina.
Energi yang dihasilkan pembangkit listrik tenaga angin naik 5 persen menjadi 83 TWh setelah kapasitasnya ditingkatkan 21 persen untuk mengimbangi rendahnya utilisasi karena beragamnya kondisi angin. Pembangkit listrik tenaga hidro naik 39 persen dibandingkan tahun lalu, ketika pembangkit listrik tenaga hidro dihantam banjir.
Pembangkit listrik pembakaran gas turun 16 persen meski kapasitasnya dinaikkan 9 persen. Pembangkit listrik tenaga batu bara juga turun 3,7 persen meski total permintaan listrik naik 7,2 persen dibandingkan tahun lalu.