ESGNOW.ID, JAKARTA -- Aliansi masyarakat sipil Indonesia menolak rencana pembukaan 20 juta hektare hutan untuk pangan dan energi atau hampir dua kali luas Pulau Jawa untuk memenuhi kebutuhan energi dan pangan. Aliansi menilai rencana ambisius ini tidak logis, baik secara hitungan ekonomi dan ekologis. Daya dukung lingkungan harus diperhatikan dalam pelaksanaan program ini.
Berdasarkan data Kementerian Kehutanan tertanggal 5 Desember 2024, peruntukan 20 juta hektare akan digunakan untuk mencapai swasembada energi. Pemerintah berusaha memangkas ketergantungan impor bahan bakar minyak (BBM) dengan pengembangan bioenergi. Terkait bioenergi, kebijakan biodiesel sedang didorong untuk pengembangan B40. Pengembangan biodiesel sendiri sudah menciptakan dinamika ketika minyak sawit harus berbagi peran antara pemenuhan kebutuhan pangan dengan energi.
Menurut Direktur Eksekutif Satya Bumi Andi Muttaqien, produksi bahan bakar nabati, seperti sawit, jelas perlu memperhatikan daya dukung lingkungan. Riset Satya Bumi dengan lembaga lainnya pada 2024 menunjukkan nilai batas atas 'cap' sawit Indonesia berdasarkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup (D3TLH) hanya sampai pada angka 18,15 juta hektare. Sementara berdasarkan data MapBiomas 2022, luas perkebunan sawit existing sudah mencapai 17,77 juta haktare.
“Rencana perluasan 20 juta hektare lahan ini berpotensi menambah luas perkebunan sawit existing hingga lebih dari dua kali lipat dari kapasitas daya dukung dan daya tampung lingkungan. Beban lingkungan ini tentunya akan mengakibatkan kerusakan lingkungan semakin parah hingga terancamnya keberlangsungan hidup manusia dan biodiversitas,” kata Andi seperti dikutip dalam pernyataan aliansi, Senin (20/1/2025).
Sementara itu, Direktur Eksekutif Sawit Watch Achmad Surambo mengatakan pembukaan 20 juta hektare menciptakan peluang sangat besar terjadinya penambahan luasan sawit. Tren alih fungsi lahan pangan semakin mengkhawatirkan terutama dalam konteks perubahan fungsi lahan dari pertanian menjadi perkebunan sawit.
“Kami menemukan terdapat fakta pencetakan sawah baru berakhir menjadi perkebunan sawit. Berdasarkan hitungan kami menemukan bahwa alih fungsi lahan pangan menjadi perkebunan sawit di era pemerintahan Jokowi (2015-2024) seluas 698.566 hektare atau 69.856,6 hektare per tahun. Sumber-sumber lahan pangan tersedia saat ini jelas-jelas terancam eksistensinya dan jika terus terjadi akan mengganggu sistem pangan Indonesia,” kata Surambo.
Ia menjelaskan, kebijakan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (PLP2B) merupakan kebijakan pemerintah untuk melindungi lahan pertanian dari konversi. Namun, efektivitas dan implementasi kebijakan ini masih perlu dipertanyakan mengingat masih ditemukannya alih fungsi lahan pangan yang terjadi.