ESGNOW.ID, JAKARTA — Peneliti Center of Industry, Trade, and Investment Indef Ahmad Heri Firdaus mengatakan, Indonesia perlu mencari alternatif pendanaan untuk transisi energi. Hal ini penting sebagai langkah menghadapi dampak mundurnya Amerika Serikat (AS) dari Paris Agreement (Perjanjian Paris).
“Terkait pendanaan, perlu dicari berbagai alternatif,” kata Ahmad di Jakarta, Rabu (22/1/2025).
Ahmad mengatakan, sumber alternatif pendanaan transisi energi ini dapat bervariasi seperti Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), kerja sama investasi dengan negara lain, kerja sama B2B (business to business), peluang pendanaan dari berbagai lembaga keuangan internasional, dan sebagainya.
Pada Senin (20/1/2025), Presiden AS Donald Trump menyatakan bahwa AS akan menarik diri dari Perjanjian Iklim Paris 2016 karena menganggap perjanjian tersebut tidak adil dan berat sebelah. Pada hari yang sama, Trump menandatangani perintah eksekutif untuk secara resmi menarik diri dari perjanjian tersebut.
Dengan keluarnya AS dari Perjanjian Paris, Ahmad memandang bahwa langkah ini tentunya akan mengubah konstelasi global untuk capaian emisi nol bersih (net zero emission/NZE) di masa yang akan datang, tepatnya dalam jangka menengah dan jangka panjang.
“Ini dikhawatirkan berbagai negara malah jadi tidak awareuntuk melaksanakan Perjanjian Paris,” ujar Ahmad.
Meski begitu, Ahmad mengingatkan bahwa Indonesia harus tetap berada pada target yang telah direncanakan terkait dengan transisi energi dan aksi mitigasi perubahan iklim.
Mundurnya AS dari Perjanjian Paris dikhawatirkan berdampak pada program pendanaan transisi energi ke negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Oleh sebab itu, Ahmad mengatakan bahwa Indonesia perlu mencari alternatif pendanaan lainnya.
Adapun Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto memiliki komitmen terhadap Perjanjian Paris. Hal ini disampaikan oleh Hashim Djojohadikusumo saat menjadi Utusan Khusus Presiden untuk Konferensi Perubahan Iklim COP29 UNFCCC pada November 2024.
Pemerintah menyiapkan sejumlah program untuk memperkuat aksi mitigasi perubahan iklim termasuk pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT).
Program baru yang disiapkan oleh pemerintahan Prabowo di antaranya pengembangan energi sebesar 100 Gigaton (GT) termasuk di dalamnya EBT sebesar 75 GT. EBT tersebut, antara lain, pembangkit listrik tenaga bayu, tenaga air, panas bumi, tenaga surya, panas bumi, dan nuklir. Kemudian, program mitigasi perubahan iklim juga termasuk pemanfaatan teknologi carbon capture and storage (CCS) serta rehabilitasi 12,7 juta hektare hutan untuk mendukung ketahanan pangan.