Selasa 29 Apr 2025 19:16 WIB

Difabel Hadapi Dampak Berlapis dalam Krisis Iklim

Dalam situasi darurat, kelompok disabilitas kerap terabaikan.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Penyandang disabilitas berjalan di depan kios saat Uji Publik Fasilitas Difabel di Pasar Jongke, Solo, Jawa Tengah, Senin (15/7/2024).
Foto: ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha
Penyandang disabilitas berjalan di depan kios saat Uji Publik Fasilitas Difabel di Pasar Jongke, Solo, Jawa Tengah, Senin (15/7/2024).

ESGNOW.ID,  JAKARTA — Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat Yeni Rosa Damayanti menegaskan bahwa krisis iklim tidak bersifat netral dan berdampak tidak merata, terutama bagi kelompok disabilitas yang menghadapi kerentanan berlapis secara fisik, sosial, ekonomi, hingga gender.

“Dampaknya tidak sama bagi orang kaya dan miskin, bagi mereka yang tinggal di pesisir atau pegunungan, juga antara yang memiliki disabilitas dan tidak,” ujar Yeni dalam webinar Dampak Perubahan Iklim dan Pentingnya UU Perubahan Iklim bagi Penyandang Disabilitas di Indonesia, Selasa (29/4/2025).

Menurutnya, penyandang disabilitas menghadapi hambatan ganda: keterbatasan mobilitas, minimnya akses informasi ramah disabilitas, dan stigma sosial. “Perempuan dengan disabilitas mengalami opresi ganda—karena jenis kelamin dan kondisi fisiknya,” tambahnya.

Yeni menyoroti kerentanan ekonomi sebagai tantangan utama. Minimnya akses pendidikan dan pekerjaan layak membuat penyandang disabilitas sulit bangkit saat krisis. “Kalau kehilangan pekerjaan, mereka tidak bisa semudah itu pindah profesi,” ujarnya.

Ia memberi contoh penyandang disabilitas yang bekerja sebagai buruh cuci di Jawa Timur. Ketika sumur di dekat rumahnya mengering karena krisis iklim, ia harus berjalan 300 meter ke sumber air berikutnya. “Bagi yang tak punya hambatan mobilitas, itu biasa. Tapi bagi penyandang disabilitas, itu bencana,” kata Yeni.

Dalam situasi darurat seperti banjir atau kebakaran, kelompok disabilitas juga kerap terabaikan. Ia mengangkat kasus penyandang disabilitas mental yang terkurung dan tak diselamatkan saat terjadi kebakaran. “Relokasi pascabencana juga kerap tak ramah disabilitas—jalan tak rata, tangga tinggi, tanpa akses kursi roda,” katanya.

Yeni menyerukan agar isu disabilitas diintegrasikan ke seluruh tahapan kebijakan perubahan iklim. Ia juga mengkritik transportasi publik yang belum aksesibel. “Bagaimana kami bisa meninggalkan kendaraan pribadi kalau Transjakarta saja tak bisa kami naiki?” cetusnya.

Ia mendesak adanya ruang partisipasi bermakna, dana adaptasi yang inklusif, serta perlindungan sosial dan pekerjaan bagi korban iklim dari kelompok disabilitas. “Tanpa jaminan sosial, penyandang disabilitas bisa jatuh miskin sehabis-habisnya akibat dampak iklim,” tegas Yeni.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement