ESGNOW.ID, JAKARTA — Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PT PLN (Persero) 2025–2034 dinilai bertolak belakang dengan komitmen Presiden Prabowo Subianto untuk menghentikan penggunaan pembangkit energi fosil pada 2040. Dalam dokumen terbaru itu, PLN tetap merencanakan penambahan kapasitas pembangkit berbasis batu bara dan gas sebesar 16,6 gigawatt (GW).
“RUPTL ini merupakan kemunduran dari pernyataan Presiden di KTT G20 akhir tahun lalu mengenai komitmen transisi energi Indonesia,” ujar Direktur Eksekutif Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (SUSTAIN), Tata Mustasya, dalam keterangannya dikutip pada Selasa (27/5/2025).
Menurut Tata, ketidaksesuaian antara RUPTL dengan visi Presiden berpotensi menimbulkan ketidakpastian bagi publik, lembaga keuangan, dan sektor swasta yang sedang beralih ke energi terbarukan. Ia menilai target Indonesia untuk keluar dari ketergantungan energi fosil pada 2040 menjadi mustahil tercapai jika peta jalan kelistrikan tidak segera direvisi.
Meski RUPTL mencantumkan porsi energi terbarukan sebesar 61 persen (42,6 GW) dan tambahan storage sebesar 15 persen (10,3 GW), SUSTAIN menilai angka itu menyesatkan. Sebab, pembangkit tenaga nuklir 500 megawatt (MW) juga dimasukkan sebagai bagian dari energi hijau, masing-masing 250 MW di Sumatera dan Kalimantan pada 2032–2033.
Di sisi lain, kapasitas pembangkit fosil justru tetap bertambah signifikan, yakni batu bara 6,3 GW dan gas 10,3 GW—setara 24 persen dari total kapasitas tambahan.
Tata menegaskan, dokumen RUPTL perlu direvisi agar selaras dengan strategi industrialisasi hijau yang mengandalkan energi bersih untuk memacu manufaktur nasional yang stagnan sejak awal 2000-an.
“Seharusnya Indonesia fokus pada pengembangan industri rantai pasok panel surya, baterai, dan kendaraan listrik yang akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Kebijakan yang konsisten merupakan kunci, salah satunya RUPTL yang tidak memasukkan lagi pembangkit berbahan bakar fosil baru,” tegas Tata.
Direktur Eksekutif Centre of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, menilai RUPTL terbaru lebih banyak mengakomodasi kepentingan batu bara dan gas. Langkah ini dianggap sebagai penghambat investasi energi terbarukan di Indonesia.
Dia mengatakan, investor maupun pendanaan di sektor energi terbarukan dan pembangunan transmisi akan bingung dengan RUPTL, karena pemerintah tidak memiliki rencana yang ambisius dalam transisi energi.
“Misalnya mereka mau membangun industri komponen lokal panel surya dan baterai, ternyata arah pemerintah masih berkutat di instalasi pembangkit batu bara dan teknologi yang mahal. Ada ketidakpastian dari sisi investasi yang membuat daya saing Indonesia tertinggal,” kata Bhima.
Ia menambahkan, RUPTL 2025–2034 justru berisiko menjadi batu sandungan bagi penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi jangka menengah. “Apa RUPTL ini menjawab target pertumbuhan 8 persen? Saya rasa tidak sama sekali. Tidak ada cara lain, pemerintah harus segera melakukan revisi RUPTL dengan menghapus rencana pembangunan pembangkit fosil,” ujar Bhima.