Rabu 04 Jun 2025 16:34 WIB

Indonesia Bisa Raup Manfaat Ekonomi dari Energi Terbarukan

Indonesia masih bergantung pada energi fosil untuk 81 persen pasokan listriknya.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
PLTS Terapung Cirata.
Foto: PLN
PLTS Terapung Cirata.

ESGNOW.ID,  JAKARTA — Indonesia berpotensi mendapatkan manfaat ekonomi hingga 1,8 miliar dolar AS jika memperbaiki arah kebijakan dan mempercepat pengembangan energi terbarukan. Temuan ini diungkapkan Koalisi pelaku bisnis energi terbarukan Asia Clean Energy Coalition (ACEC) dalam laporan terbarunya yang dirilis Rabu (4/6/2025).

Laporan berjudul Asia’s Clean Energy Breakthrough: Unlocking Corporate Procurement for Sustainable Growth itu menunjukkan bahwa permintaan energi terbarukan dari perusahaan-perusahaan global di kawasan Asia-Pasifik terus meningkat seiring upaya mereka melakukan dekarbonisasi. Namun, ketersediaan pasokan listrik berbasis energi bersih di kawasan, termasuk di Indonesia, masih jauh tertinggal dari permintaan yang ada.

Meski memiliki potensi besar dari energi surya dan angin, Indonesia masih bergantung pada energi fosil untuk 81 persen pasokan listriknya. Sementara itu, target pemerintah untuk menambah kapasitas pembangkit energi terbarukan hingga 21 gigawatt (GW) dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021–2030 belum tercermin dalam pembangunan di lapangan. Proyek yang sedang dalam tahap konstruksi dinilai masih sangat minim.

Padahal, jika Indonesia mampu meningkatkan bauran energi terbarukan dari 18 persen menjadi 29 persen pada 2030, negara ini bisa meraup manfaat ekonomi tambahan sebesar 1,8 miliar dolar AS.

Selain itu, pengembangan ini juga berpotensi menciptakan hampir 140 ribu pekerjaan baru dan menaikkan total upah pekerja hingga 1,4 miliar dolar AS. Dari sisi lingkungan, pengurangan emisi karbon yang bisa dicapai mencapai 25 juta ton setara karbon dioksida.

Direktur Program ACEC Suji Kang menyebut, pergeseran mendasar tengah terjadi dalam peta permintaan energi terbarukan oleh sektor korporasi global, dan Asia berada di pusat transisi ini.

Menurut Kang, negara-negara seperti Vietnam, Korea Selatan, Jepang, Indonesia, dan Singapura bisa meningkatkan PDB regional sebesar 26,86 miliar dolar AS, menciptakan 435 ribu lapangan kerja baru, dan menambah total upah pekerja sebesar 14,63 miliar dolar AS apabila memperkuat kebijakan energi bersih mereka.

Meski peluangnya besar, ACEC mencatat sejumlah tantangan utama bagi Indonesia. Arah kebijakan energi terbarukan dinilai belum jelas, belum mencerminkan besarnya permintaan dari sektor swasta, serta kurangnya mekanisme pembelian listrik langsung oleh perusahaan.

Untuk itu, ACEC mendorong agar target energi terbarukan dicantumkan secara eksplisit dalam kebijakan nasional dan komitmen iklim (NDC), termasuk percepatan penerapan skema power wheeling atau pemanfaatan bersama jaringan transmisi.

Skema Corporate Power Purchase Agreement (CPPA), yang memungkinkan perusahaan membeli langsung listrik dari pembangkit energi terbarukan, juga dinilai penting untuk segera dibuka.

Selain itu, kepemilikan sertifikat energi terbarukan (Renewable Energy Certificate/REC) antara PLN dan produsen listrik swasta perlu diperjelas untuk menciptakan kepastian hukum dan meningkatkan iklim investasi.

Kepala RE100 dan The Climate Group Ollie Wilson menambahkan bahwa anggota RE100 siap berinvestasi dalam transisi energi di Asia. Namun, menurutnya, ambisi dari dunia usaha harus ditopang oleh kebijakan yang memungkinkan transisi berlangsung cepat dan dalam skala besar.

Ia menekankan pentingnya lingkungan kebijakan yang kondusif agar pengadaan energi terbarukan oleh perusahaan bisa mendongkrak daya saing nasional, meningkatkan keamanan energi, sekaligus memberi manfaat iklim yang signifikan.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement