Jumat 13 Jun 2025 17:03 WIB

Akademisi UI Ungkap Kritisnya Kondisi Air Tanah Jakarta

Zona bebas air tanah harus berbasis data hidrologi.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Dosen Teknik Lingkungan Universitas Indonesia (UI) Dwinanti Rika Marthanty mengungkapkan kritisnya kondisi air tanah di Jakarta.
Foto: Lintar Satria/Republika
Dosen Teknik Lingkungan Universitas Indonesia (UI) Dwinanti Rika Marthanty mengungkapkan kritisnya kondisi air tanah di Jakarta.

ESGNOW.ID,  JAKARTA — Dosen Teknik Lingkungan Universitas Indonesia (UI), Dwinanti Rika Marthanty, mengungkapkan kondisi air tanah Jakarta sudah berada pada tahap kritis. Penurunan muka tanah mencapai lebih dari 30 meter di sejumlah titik dan air laut telah meresap hingga kawasan Monas.

“Untuk mendapatkan air tanah bersih di Jakarta, sumur harus digali hingga kedalaman lebih dari 30 meter. Ini menunjukkan betapa drastisnya penurunan muka air tanah,” kata Dwinanti kepada Republika, Kamis (13/6/2025).

Baca Juga

Ia mendukung kebijakan zona bebas air tanah yang digagas Pemprov DKI, namun menegaskan penentuan lokasinya harus berbasis pada kajian ilmiah. Berdasarkan pemetaan yang dilakukan timnya dengan data Pemprov DKI, wilayah industri, hotel, dan pabrik memiliki kepadatan eksploitasi air tanah yang sangat tinggi.

“Muara Angke sebenarnya bukan daerah resapan, melainkan zona keluaran air tanah. Daerah resapan yang ideal justru berada di wilayah selatan seperti Depok dan Bogor,” ujarnya.

Simulasi yang dilakukan tim UI menunjukkan jika pengambilan air tanah terus berlangsung tanpa kendali, kawasan utara Jakarta seperti Pluit, Ancol, dan Muara Angke akan mengalami penurunan tanah yang semakin parah. Salah satu dampak serius dari kondisi ini adalah intrusi air laut ke dalam akuifer.

“Air laut sudah menembus sampai Jakarta Pusat, termasuk kawasan Monas. Ini sangat mengkhawatirkan karena kita inginnya air tanah itu air yang bisa diminum,” jelas Dwinanti.

Ia menjelaskan intrusi terjadi karena eksploitasi air tanah besar-besaran menurunkan tekanan air tawar, sehingga air laut dengan mudah masuk ke daratan. Kondisi ini diperparah dengan minimnya zona resapan akibat urbanisasi yang masif.

“Air hujan harus meresap melalui zona resapan yang kini banyak hilang akibat urbanisasi,” katanya. Proses pengisian ulang air tanah membutuhkan waktu puluhan tahun, sementara pengambilannya berlangsung cepat dan terus menerus.

Menurut Dwinanti, air tanah di Jakarta merupakan cadangan purba yang terbentuk selama ribuan tahun dan kini terkuras dalam hitungan dekade. Ia mengibaratkan pergerakan air tanah seperti manusia yang nyaris tidak bergerak.

“Jika air sungai mengalir seperti orang berjalan atau sekitar 0,1–1 meter per detik, air tanah bergerak sangat lambat, hampir seperti diam,” tuturnya.

Dwinanti menyarankan beberapa langkah konkret, seperti memperluas ruang terbuka hijau di daerah resapan, membangun sistem penampungan air hujan seperti di Singapura, serta memperketat izin eksploitasi air tanah oleh industri dan hotel. Ia juga mendorong penggunaan air PAM sebagai alternatif utama.

Dalam menetapkan zona bebas air tanah, ia menekankan perlunya analisis hidrologis dan pertimbangan nilai ekonomis lahan. Banyak wilayah yang secara hidrologis ideal untuk resapan justru telah menjadi pusat kegiatan produktif dan tidak mungkin dikembalikan menjadi zona konservasi sepenuhnya.

Oleh karena itu, ia menilai pendekatan realistis harus ditempuh, misalnya melalui pembatasan pengambilan air tanah disertai insentif konservasi. “Harus ada kebijakan pengendalian dengan kompensasi tertentu agar pembangunan tetap bisa berjalan tanpa mengorbankan sumber daya air,” katanya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement