ESGNOW.ID, JAKARTA -- Perubahan iklim yang memicu kenaikan suhu telah berdampak pada hasil pangan. Suhu panas menyebabkan berkurangnya hasil panen gandum di India, begitu juga kekeringan menggerogoti panen padi di Indonesia.
Bencana yang diperburuk oleh kenaikan suhu rata-rata juga memakan korban. Topan Freddy menghancurkan ladang jagung, beras, dan kacang-kacangan di Malawi pada bulan Maret, dan beban terberat ditanggung oleh pertanian subsisten kecil. Semua itu telah menaikkan harga makanan yang ada di piring kita.
Dilansir Vox, Jumat (24/11/2023), berikut beberapa bahan makanan yang menjadi langka, harganya melonjak, dan gagal panen karena terdampak perubahan iklim.
1. Minyak zaitun
Minyak zaitun menjadi salah satu kondimen penting dalam membuat berbagai masakan. Namun cuaca yang tidak menentu dan kekeringan akibat perubahan iklim telah membuat harganya terus melonjak. Panas terik dan sedikitnya hujan di seluruh Mediterania seperti Yunani, Italia, Spanyol, membuat hasil panen dan produksi minyak mengalami penurunan produksi hingga lebih dari 50 persen pada musim ini dibandingkan tahun lalu.
2. Blueberry
Bluberry yang kerap diolah menjadi pai dan berbagai makanan lain juga terdampak perubahan iklim. Peru adalah pengekspor blueberry terbesar di dunia, dan berada tepat di garis bidik El Nino, fase hangat dari siklus suhu Samudra Pasifik. Hal ini memicu suhu panas yang memecahkan rekor di seluruh Peru, bahkan selama musim dingin. Blueberry membutuhkan cuaca yang sejuk, dan sekarang setengah dari jumlah blueberry dari Peru berhasil mencapai rak-rak di AS dengan harga naik 40 persen sejak Juli.
3. Anggur
Anggur terkenal rewel dengan cuaca, dan terroir mereka membentuk kualitas dan kuantitas produk mereka, seperti anggur, jadi tahun 2023 mungkin tidak akan menjadi tahun panen yang baik. Cuaca ekstrem pada tahun 2023 telah mendorong produksi wine global ke level terendah dalam 60 tahun terakhir. "Sekali lagi, kondisi iklim yang ekstrem seperti embun beku dini, curah hujan yang tinggi, dan kekeringan telah berdampak signifikan terhadap hasil panen kebun anggur dunia," menurut Organisasi Anggur dan Wine Internasional.
4. Jagung
Petani AS memanen jagung dalam jumlah yang mencapai rekor, tetapi mereka menghadapi kondisi yang sulit. Lebih dari 70 persen wilayah penghasil jagung mengalami kekeringan pada bulan Juni.
Sementara itu, di wilayah-wilayah lain terjadi penurunan. Di China, panas yang menyengat di beberapa wilayah dan hujan lebat di wilayah lain mengurangi hasil panen secara keseluruhan. Mayoritas jagung di dunia adalah jagung ladang yang bukan untuk konsumsi manusia secara langsung seperti jagung manis. Jagung ini ditanam sebagai pakan ternak, serta bahan baku biofuel, pemanis, pati, dan keperluan industri.
5. Kedelai
Hampir dua pertiga wilayah penghasil kedelai mengalami kekeringan di Amerika Serikat pada bulan Juni. Meskipun hujan akhirnya turun, curah hujan yang turun di wilayah yang mengalami kekeringan tidak pernah turun di bawah 38 persen selama sisa musim panas, menurut USDA (Departemen Pertanian AS). Tanaman kedelai juga mengalami kerusakan akibat hujan es di beberapa bagian negara tersebut. Badan tersebut mengantisipasi panen akan turun 3 persen dibandingkan tahun 2022.
Sementara itu, di Brasil, produsen kedelai terbesar di dunia, kekeringan memaksa para petani untuk menunda atau menanam kembali tanaman mereka, sehingga menggerogoti hasil panen. Seperti halnya jagung, sebagian besar kedelai ditanam sebagai pakan ternak, sehingga kerugian muncul di piring makan malam dalam bentuk steak, telur, ayam, dan keju yang lebih mahal.