ESGNOW.ID, JAKARTA -- Lingkungan yang lebih hangat dapat berarti lebih banyak nyamuk karena predator mereka menjadi lebih sulit untuk mengendalikan populasi. Demikian menurut sebuah studi terbaru yang dipimpin oleh para peneliti Virginia Commonwealth University.
Sebagai fitur cover di Ecology, penelitian bertajuk 'Warming and Top-Down Control of Stage-Structured Prey: Linking Theory to Patterns in Natural Systems' menemukan bahwa kenaikan suhu, yang sering dikaitkan dengan perubahan iklim, dapat membuat pemangsa larva nyamuk menjadi kurang efektif dalam mengendalikan populasi nyamuk. Suhu yang lebih hangat mempercepat waktu perkembangan larva, yang mengarah ke jendela waktu yang lebih kecil bagi capung untuk memakannya.
Ini berarti ada hampir dua kali lebih banyak jentik nyamuk yang berhasil menjadi dewasa di daerah penelitian. Para peneliti mengamati kolam batu atau kolam pasang surut (rock pool) di Belle Isle di sepanjang James River, Virginia AS. Mereka menemukan bahwa kolam batu yang bersuhu lebih hangat memiliki lebih banyak jentik nyamuk bahkan ketika ada predator yang secara alami mengendalikan populasi.
Nyamuk kolam batu bukanlah vektor penyakit yang penting, tetapi merupakan salah satu dari sedikit nyamuk lokal yang tidak perlu makan sebagai nyamuk dewasa untuk bertelur. Jadi, temuan ini mungkin berlaku untuk taksa yang sama, seperti nyamuk rock pool di Asia yang invasif.
"Kita mungkin akan melihat populasi yang lebih besar dari serangga yang paling tidak disukai semua orang, yaitu nyamuk. Meskipun larva nyamuk yang kami pelajari di sini adalah kolam batu di Amerika Utara, temuan ini mungkin berlaku untuk spesies nyamuk yang bertindak sebagai vektor penyakit seperti West Nile atau bahkan virus Zika," kata Andrew Davidson, peneliti utama dalam penelitian ini, seperti dilansir Phys, Rabu (20/12/2023).
Predator membantu menstabilkan ekosistem dan jaring-jaring makanan, dan penelitian ini mengamati interaksi mangsa-pemangsa antara nimfa capung dan larva nyamuk. Sebelum melakukan penelitian lapangan, penelitian ini berakar pada konsep fisiologi termal dan eksperimen laboratorium jangka pendek yang menghasilkan model prediktif tentang hubungan antara predator, mangsa dan suhu di lapangan. Studi lapangan kemudian menguji model-model tersebut di lingkungan alami yang lengkap.
Penelitian ini dibangun berdasarkan penelitian Davidson sebelumnya yang diterbitkan di Functional Ecology serta karya rekan laboratorium Ryland Stunkle dan anggota tim kolam batu VCU lainnya. Tim ini juga berterima kasih atas dukungan kolaboratif dari profesor Brian Byrd dari Western Carolina University's College of Health and Human Sciences.