ESGNOW.ID, JAKARTA -- Kementerian Pertanian (Kementan) melalui Ditjen Perkebunan menyiapkan berbagai upaya untuk meningkatkan capaian sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Capaian ISPO dinilai masih rendah, yakni 37,08 persen dari target yang ditetapkan pemerintah.
Direktur Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perkebunan (PPHBun) Dirjen Perkebunan Kementan, Prayudi Syamsuri di Jakarta, Kamis (4/4/2024), menyebutkan, capaian sertifikasi ISPO saat ini seluas 5,6 juta hektare dari luas lahan yang ditargetkan memperoleh sertifikat 16,38 juta hektare.
"Sebab itu guna mengatasi kendala tersebut, fokus utama ditujukan pada peningkatan kelembagaan dalam industri ini," kata dia.
Prayudi menegaskan komitmennya untuk memperkuat kelembagaan sebagai upaya menghadapi tantangan dalam mencapai target ISPO yang lebih tinggi.
Terkait hal itu, Kementan meminta Badan Pengelola Dana Kelapa Sawit (BPDPKS) untuk memberikan dukungan dalam pembiayaan Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB). Selain itu kelompok pekebun yang telah melakukan proses ISPO diminta untuk mendaftar sesuai dengan program Sarana dan Prasarana (Sarpras).
Dalam upaya optimalisasi penggunaan dana, Kementan menekankan pentingnya mengusulkan target-target secara tepat dan efisien. Proses ini akan mendapatkan pengawalan langsung dari pihak terkait untuk memastikan kelancaran dan efektivitasnya.
Selanjutnya menurut dia, revisi dalam implementasi ISPO menjadi hal yang penting untuk dibahas. Di mana pembahasan meliputi aspek hilir tanaman sawit dan menyesuaikan status ISPO menjadi mandatory (wajib) atau voluntary (sukarela).
"Proses revisi peraturan oleh Kementerian Pertanian diharapkan dapat mempercepat penyelesaian, sehingga ISPO dapat diterapkan dengan lebih luas dan efektif," ujarnya.
Sebelumnya Ketua Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Sabarudin mengungkapkan selama diterapkan hampir 13 tahun ketercapaian sertifikasi ISPO oleh petani masih sangat kecil, yaitu 81 sertifikat dengan luasan 60.235,58 hektare dari penguasaan lahan oleh petani 6,94 juta hektare.
Selama 13 tahun pelaksanaan ISPO di Indonesia baru mencapai 0,3 persen sertifikasi bagi petani kelapa sawit, padahal sebenarnya pada 2025, mesti sudah hampir 100 persen. "Karena terdapat target pemerintah bahwa pada tahun tersebut sistem itu bersifat wajib," kata Sabarudin dalam Diskusi Publik dan Konferensi Pers yang diadakan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS).
Menurut dia sistem sertifikasi saat ini belum mampu menjawab tantangan di tingkat petani kelapa sawit khususnya untuk petani yang belum berkelompok yang berjumlah sangat besar sekitar 70 persen dari total 6,9 juta hektare luas kebun petani.
Oleh karena itu, lanjutnya, perlu ada gerakan yang masif dan inovatif dengan menerapkan sistem sertifikasi skala besar dengan pendekatan kewilayahan untuk mempercepat sistem sertifikasi di Indonesia khususnya petani skala kecil.