ESGNOW.ID, JAKARTA -- Pemerintah Provinsi DKI Jakarta membidik peluang perdagangan karbon (carbon trade) dari karbon biru (blue carbon) dengan memanfaatkan potensi mangrove dan padang lamun.
Kepala Bidang Kelautan Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan dan Pertanian (KPKP) Provinsi DKI Jakarta Imam Fitrianto dalam webinar "Blue Economy: Pembangunan Berkelanjutan Sektor Kelautan" yang dipantau di Jakarta, Kamis (18/4/2024), mengungkapkan "carbon trade" dari "blue carbon" saat ini tengah menjadi tren.
Tema ini juga sempat menjadi bahasan di Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) 2023 atau Konferensi Para Pihak UNFCCC atau COP28. "'Carbon trade' dari 'blue carbon' itu di antaranya dengan beberapa ekosistem laut yang mampu menyerap karbon dari udara masuk ke dalam ekosistem laut. Contohnya padang lamun dan juga mangrove," katanya.
Ekosistem karbon biru seperti mangrove (bakau) dan padang lamun disebut-sebut memiliki kemampuan untuk menyerap karbon lebih tinggi ketimbang ekosistem hutan darat. DKI Jakarta memiliki potensi pengembangan ekonomi biru yang sangat besar.
Hal itu lantaran luas lautan di Jakarta mencapai 580.683 hektare (ha) atau 11 kali lebih luas dari daratannya, dengan garis pantai di sisi Jakarta Utara dan Kepulauan Seribu sepanjang 121 kilometer (km).
DKI Jakarta juga memiliki padang lamun seluas 533 ha, mangrove seluas 682 ha serta terumbu karang seluas 4.561 ha. Potensi ekosistem laut dan pesisir tersebut, menurut Imam, dapat dimanfaatkan untuk kegiatan ekonomi biru.
Ekonomi biru merupakan suatu konsep pembangunan ekonomi yang berfokus pada pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir, meliputi terumbu karang, mangrove, padang lamun, ikan-ikan hingga perairan itu sendiri.
Namun, Imam mengingatkan, pembangunan ekonomi biru sejatinya tidak hanya fokus pada pemanfaatan demi pengembangan ekonomi tetapi juga mempertimbangkan keseimbangan pelestarian ekosistem itu sendiri.
Selain potensi karbon biru, sektor wisata bahari, hingga perikanan tangkap dan budi daya di Jakarta pun masih potensial untuk dikembangkan. Selanjutnya, ada pula potensi pengembangan energi terbarukan. Contohnya energi panas laut (ocean thermal) atau pengembangan energi gelombang laut. "Jadi tidak hanya fokus pada penggunaan migas saja," katanya.
Pemerintah Indonesia mencatat ekosistem mangrove mampu menangkap 3,3 giga ton CO2 atau setara dengan 3,36 juta ha kawasan mangrove dengan potensi valuasi ekonomi mencapai 16,5 juta dolar AS.
Tidak hanya itu, mangrove memberikan sejumlah manfaat di antaranya perlindungan pantai, keanekaragaman hayati yang tinggi, juga manfaat ekonomi bagi masyarakat melalui ekowisata dan penetapan harga karbon.
Menyusul potensinya yang besar, pemerintah menargetkan untuk melakukan percepatan restorasi 75 ribu ha lahan mangrove dan konservasi seluas 400 ribu ha yang ditargetkan selesai pada 2024.