ESGNOW.ID, JAKARTA -- Hena Khan, seorang siswa kelas sembilan di Dhaka, kesulitan untuk fokus pada pelajarannya pekan ini karena suhu udara di ibu kota Bangladesh tersebut mencapai 43 derajat Celcius.
“Belajar menjadi tidak kondusif dalam cuaca panas seperti ini. Guru tidak bisa mengajar, siswa tidak bisa berkonsentrasi. Nyawa kami pun dalam bahaya,” kata Khan seperti dilansir Reuters, Jumat (3/5/2024).
Khan adalah satu dari 40 juta siswa yang tidak dapat mengikuti pelajaran dalam beberapa pekan terakhir, karena gelombang panas telah memaksa penutupan sekolah di beberapa bagian Asia dan Afrika Utara. Seiring dengan memanasnya iklim akibat pembakaran bahan bakar fosil, gelombang panas berlangsung lebih lama dan ekstrem.
Fenomena ini membuat otoritas pemerintah dan ahli kesehatan semakin gamang, apakah akan membiarkan siswa belajar di ruang kelas yang panas atau mendorong mereka untuk belajar di rumah.
Kedua keputusan tersebut memiliki konsekuensi. Sekitar 17 persen anak usia sekolah di dunia sudah putus sekolah, menurut data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Namun proporsinya jauh lebih besar di negara-negara berkembang dengan hampir sepertiga anak-anak di sub-Sahara Afrika tidak bersekolah dibandingkan dengan hanya 3 persen di Amerika Utara. Nilai ujian anak di negara berkembang juga tertinggal dari negara maju.
Suhu panas dapat memperburuk ketidaksetaraan, memperlebar kesenjangan pembelajaran antara negara-negara berkembang di daerah tropis dan negara-negara maju, kata para ahli. Namun di sisi lain, mengirim anak-anak ke sekolah dalam suhu terlalu panas juga dapat membuat mereka sakit.
Tahun ini, Sudan Selatan telah menutup sekolah-sekolahnya untuk sekitar 2,2 juta siswa pada akhir Maret ketika suhu udara melonjak hingga 45 derajat Celcius. Ribuan sekolah di Filipina dan India mengikuti langkah yang sama pada akhir April, dengan menutup ruang kelas untuk lebih dari 10 juta siswa.
Pada Rabu, Kamboja juga memerintahkan semua sekolah negeri untuk memangkas dua jam pelajaran dari biasanya, untuk menghindari puncak panas pada tengah hari. Sementara itu, Bangladesh masih bimbang antara membuka dan menutup sekolah untuk sekitar 33 juta siswa, di tengah tekanan untuk mempersiapkan murid-muridnya menghadapi ujian.
“Banyak sekolah di Bangladesh tidak memiliki kipas angin, ventilasi yang tidak baik, dan mungkin atapnya terbuat dari seng yang tidak memberikan insulasi yang baik," kata Shumon Sengupta, direktur negara Bangladesh untuk organisasi nirlaba Save the Children.
Bahkan jika siswa tetap menghadiri kelas selama gelombang panas, pendidikan mereka kemungkinan besar akan terganggu. Suhu tinggi memperlambat fungsi kognitif otak, sehingga menurunkan kemampuan siswa untuk menyimpan dan memproses informasi.
Sebuah penelitian pada 2020 menemukan bahwa siswa sekolah menengah di AS mendapatkan hasil yang lebih buruk pada tes standar jika mereka terkena suhu yang lebih tinggi pada tahun menjelang ujian.
Penelitian yang dipublikasikan di American Economic Journal ini menemukan bahwa tahun ajaran yang lebih panas 0,55 derajat Celcius, mengurangi hasil belajar siswa pada tahun tersebut sebesar 1 persen. Sebagian besar dampak tersebut hilang di sekolah-sekolah yang memiliki pendingin ruangan, demikian menurut salah satu penulis penelitian Josh Goodman, seorang ekonom di Boston University.
Penelitian lain menunjukkan bahwa suhu panas yang berlebihan di daerah tropis juga dapat berdampak pada pendidikan anak bahkan sebelum lahir. Anak-anak di Asia Tenggara yang terpapar suhu yang lebih tinggi dari rata-rata sejak dalam kandungan dan di awal kehidupan akan mendapatkan lebih sedikit waktu bersekolah di kemudian hari, demikian hasil penelitian yang dipublikasikan di Proceedings of the National Academy of Sciences pada tahun 2019.