Kamis 13 Jun 2024 13:30 WIB

Bencana Kekeringan Ganggu Produksi PLTA

Perubahan iklim tidak hanya memberikan tantangan, tapi juga peluang.

Red: Satria K Yudha
Foto udara area genangan Waduk Bili-Bili yang mengering di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Minggu (29/10/2023). Waduk menjadi sumber air baku PDAM, PLTA, dan irigasi pertanian.
Foto: Antara/Arnas Padda
Foto udara area genangan Waduk Bili-Bili yang mengering di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Minggu (29/10/2023). Waduk menjadi sumber air baku PDAM, PLTA, dan irigasi pertanian.

REPUBLIKA.CO. JAKARTA -- Cuaca ekstrem akibat perubahan iklim sangat berdampak terhadap operasional pembangkit lisrik tenaga air (PLTA). Permasalahan ini seperti yang dirasakan PT PLN Nusantara Power.

Direktur Keuangan PT PLN Nusantara Power Dwi Hartono menceritakan, kekeringan yang terjadi di Sulawesi Selatan tahun lalu mengurangi 75 persen kapasitas produksi PLTA. “Tahun lalu di Sulawesi Selatan terjadi peristiwa bencana kekeringan yang cukup lama. Nah, itu berdampak kepada pengoperasian power plant kami yang PLTA, dari kapasitas 800 MW kemudian cuma bisa menghasilkan 200 MW, sekitar 75 persen kapasitas hilang,” kata Dwi Hartono di Jakarta, Rabu (12/6/2024).

Baca Juga

Agar tidak terjadi kekurangan pasokan, ia menuturkan bahwa pihaknya kemudian menambah produksi listrik dari pembangkit lain berbahan bakar BBM atau gas yang biaya operasionalnya lebih mahal. Sebagai perbandingan, ia mengatakan bahwa dengan PLTA, PLN dapat menghasilkan 1 KWH listrik dengan harga sekitar Rp 600-Rp 700.

“Sementara kalau kami menggunakan bahan bakar minyak, 1 KWH itu bisa sampai Rp 2.500. Jadi bisa dihitung berapa KWH yang diproduksi di Sulawesi Selatan waktu itu yang harus kami cover dengan operasional ini,” ucap Dwi.

Tidak hanya ketika terjadi kemarau panjang, ia menyatakan bahwa curah hujan yang terlalu banyak sebagai akibat dari perubahan iklim juga dapat mengganggu aktivitas produksi, terutama terkait operasional pembangkit listrik bertenaga batu bara.

Menurutnya, musim hujan yang berkepanjangan dapat mendisrupsi pengadaan komoditas tambang tersebut, baik karena masalah transportasi maupun ketersediaan suplai. “Ketika batu bara itu suplainya kurang sehingga kemudian kita terpaksa membakar bahan bakar jenis lain yang dalam hal ini selalu BBM atau gas, nah ini juga nanti berdampak kepada belanja perusahaan,” ujar Dwi.

Meskipun begitu, ia mengatakan bahwa perubahan iklim tidak hanya memberikan tantangan, tapi juga peluang. Misalnya, walaupun musim kemarau menghadirkan tantangan bagi operasional PLTA, tapi kondisi tersebut justru memberikan peluang terhadap meningkatnya produksi listrik dari PLTS.

“Jadi ada dua sisi yang selalu kita bisa ambil (manfaatnya) dalam hal ini,” imbuhnya.  

 

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement
Advertisement
Advertisement