ESGNOW.ID, JAKARTA -- DPR RI sepakat mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE) menjadi undang-undang (UU) pada Selasa (9/7/2024) lalu. Perubahan Undang-undang KSDAHE namun dinilai belum berkualitas.
Juru Kampanye Forest Watch Indonesia (FWI), Anggi Putra Prayoga, menegaskan publik membutuhkan kualitas UU yang mampu menjawab permasalahan lingkungan dan krisis iklim ke depan. Ia mengatakan data FWI menyebutkan 90 persen kerusakan sumber daya alam berupa hutan dan ekosistem penting lainnya terjadi di luar kawasan konservasi.
Anggi menegaskan publik menantikan lahirnya kebijakan yang bisa melindungi sumber daya alam dari modus-modus eksploitasi untuk menjamin hak kualitas lingkungan yang lebih baik. Sementara undang-undang yang mengatur konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya ini sama sekali tidak membahas, mengatur, dan menyebutkan jenis-jenis ekosistem yang ada di Indonesia.
Misal ekosistem mangrove, ekosistem gambut, dan ekosistem karst itu sama sekali tidak disebutkan dalam undang-undang ini apalagi diatur, untuk menjawab tantangan pembangunan yang terus menggerus ekosistem lahan basah tersebut. “Pengaturan areal preservasi tidak akan bisa menjawab tantangan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem yang sesungguhnya," kata Anggi dalam pernyataannya, dikutip Rabu (17/7/2024).
Pertama, katanya, preservasi merupakan jebakan kebijakan bagi pemerintah daerah meski urusan Kawasan Hutan Lindung dan Kawasan Hutan Produksi, termasuk Areal Penggunaan Lain (APL) sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 di bawah Pemerintah Provinsi. Namun 14,2 juta hektare sumber daya alam justru berada di dalam konsesi (Tambang, Kebun, Kehutanan) di bawah kementerian.
"Kedua, tidak ada sama sekali menyebutkan pengaturan soal status perlindungan dan pengelolaan setiap jenis ekosistem di Indonesia," tambahnya.
Ketiga, areal preservasi tidak bisa disamakan dengan kawasan ekosistem esensial dan Other Effective Area-Based Conservation Measures (OECM), karena tidak mengenal collaborative management sebagai kunci keberhasilan konservasi yang inklusif.