Senin 22 Jul 2024 10:37 WIB

BMKG Gencarkan Modifikasi Cuaca Cegah Karhutla dan Kekeringan

Area karhutla di Indonesia pada tahun 2023 menurun hingga 29,6 persen dibanding 2019.

Rep: Lintar Satria / Red: Satria K Yudha
Dua bocah berjalan di dekat lokasi kebakaran lahan di Gambut, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, Jumat (6/10/2023).
Foto: ANTARA FOTO/Bahaudin Qusairi
Dua bocah berjalan di dekat lokasi kebakaran lahan di Gambut, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, Jumat (6/10/2023).

ESGNOW.ID,  JAKARTA -- Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menggelar operasi modifikasi cuaca (OMC) untuk mengisi kubah air di lahan gambut yang menjadi sumber utama kebakaran hutan dan lahan (karhutla). Langkah ini sebagai upaya mitigasi karhutla di wilayah rentan seperti Pulau Sumatra dan Kalimantan

BMKG berdasarkan Perpres No 12 Tahun 2024 diamanatkan memiliki Kedeputian Modifikasi Cuaca yang memiliki tugas utama menyelenggarakan koordinasi, perumusan, pelaksanaan kebijakan umum, dan teknis di bidang modifikasi cuaca. Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menjelaskan, saat ini telah terjadi perubahan paradigma pemanfaatan OMC di Indonesia dan membuktikan implementasi yang dilakukan berjalan efektif.

Baca Juga

Sejak tahun 2015, BMKG menggunakan OMC untuk mitigasi bencana dan bukan lagi digunakan dalam penanganan ketika karhutla sudah terjadi. "Caranya dengan melakukan pengisian kubah air gambut. Berdasarkan data Pemantau Air Lahan Gambut (SIPALAGA) ambang batas ketinggian air dalam tanah lahan gambut tidak boleh di bawah 40 cm yang menandakan status rawan kebakaran," kata Dwikorita seperti dikutip dalam pernyataan BMKG, Ahad (21/7/2024).

Dalam pernyataan tersebut, BMKG mengatakan OMC yang dilakukan pada masa transisi musim hujan ke musim kemarau, terlihat dengan jelas perbandingan efektivitasnya. Hotspot yang dipadamkan dengan hujan hasil OMC lebih efektif jika dibandingkan dengan upaya water bombing dan terrestrial dalam mengatasi karhutla. Saat ini, pemerintah memfokuskan OMC untuk menanggulangi karhutla di Sumatra dan Kalimantan.

Waktu pada musim transisi hujan ke musim kemarau sengaja dipilih karena pada dasarnya OMC sangat bergantung pada keberadaan awan hujan. Jika OMC baru dilakukan pada musim kemarau atau pada saat karhutla sudah terjadi, maka akan sulit melakukan OMC karena biasanya keberadaan awan sulit ditemukan.

Oleh karena itu, air hujan yang berhasil diturunkan pada musim transisi diupayakan untuk disimpan ke dalam kubah gambut dengan mengisi embung-embung yang berada di daerah rawan karhutla. Nantinya, jika musim kemarau dan karhutla terjadi, cadangan air ini juga bisa digunakan oleh tim Manggala yang bekerja secara terrestrial.

Dwikorita menjelaskan, efektivitas pembasahan lahan gambut dalam memitigasi karhutla sudah terbukti. Berdasarkan data yang berhasil dihimpun, telah terjadi perlambatan lonjakan hotspot (titik panas) di Sumatra dan Kalimantan. Sebagai contoh, pada tahun 2014-2015 Provinsi Riau yang menjadi daerah rawan karhutla mengalami kenaikan hotspot pada bulan Februari-Maret dan mencapai puncaknya pada Juli, Agustus, dan September. Namun seiring dengan masifnya OMC pada musim transisi kemarau, pada tahun 2019, puncak hotspot di Riau baru terjadi pada September dengan jumlah titik yang melandai.

Untuk diketahui, Provinsi Riau menjadi salah satu daerah rawan karhutla dari tahun ke tahun dan masuk ke dalam 10 besar provinsi dengan luas area lahan karhutla terbesar. Pada tahun 2009, luasan lahan yang terbakar di Riau adalah 120,504 hektare, 183,809 hektare pada 2015, 90,550 hektare pada 2019, dan menurun signifikan pada 2023 yaitu 7,267 hektare. "Hotspot di Provinsi Riau berkurang 93,9 persen pada tahun 2023 jika dibandingkan tahun 2019," kata Dwikorita.

Penurunan jumlah hotspot juga terjadi di Kalimantan. Kenaikan hotspot yang biasa terjadi pada Agustus kini melambat menjadi September bahkan Oktober. Sebagai contoh, Kalimantan Tengah pada 2009 luasan area yang terbakar yaitu 247,942 hektare, 583, 833 hektare pada 2015, menurun menjadi 317,749 hektare pada 2019, dan 165,896 hektare pada 2023. 

Penurunan ini sangat signifikan di tengah kondisi Indonesia yang dilanda El Nino pada 2019 dan 2023 yang menyebabkan kemarau lebih kering dan panjang dari biasanya. "Ini mengindikasikan OMC berhasil menekan laju kenaikan hotspot pada dua pulau langganan karhutla. Adanya delay lonjakan hotspot mengindikasikan periode kekeringan yang berhasil dipersingkat," ujarnya.

Dengan demikian, Dwikorita melihat periode kekeringan yang menjadi sumber pemicu tingginya lonjakan hotspot berhasil dipersingkat karena pada saat periode transisi ke musim kemarau, gambut sudah lebih basah. Air-air yang berhasil disimpan pada kubah gambut juga bisa digunakan untuk water bombing apabila karhutla terjadi.

Hal yang paling penting, dengan basahnya lahan gambut maka kemungkinan besar oknum masyarakat yang melakukan pembakaran secara illegal pun akan kesulitan karena gambut dalam kondisi basah.

Plt Deputi Bidang Modifikasi Cuaca BMKG Tri Handoko Seto mengatakan area karhutla di Indonesia pada tahun 2023 menurun hingga 29,6 persen jika dibandingkan 2019. Adapun emisi karbon yang berhasil diturunkan akibat kebakaran hutan pada tahun 2023 mencapai 70,7 persen dibandingkan tahun 2019.

Seto menjelaskan gambut yang terbakar tidak hanya di permukaan saja, namun hingga ke dalam sehingga ketika gambut terbakar semakin dalam ,maka asapnya akan semakin pekat dan menimbulkan emisi karbon yang banyak dan memiliki dampak besar seperti mempercepat laju perubahan iklim, kerusakan lingkungan, dan memperburuk kesehatan manusia.

"Tetapi paling tidak kalau gambutnya dibasahi maka eskalasi kebakaran mampu dikurangi intensitasnya dan emisi karbonnya pun jauh lebih berkurang dibandingkan tahun 2019, ini tentu sangat berkontribusi positif untuk upaya komitmen pemerintah Indonesia terkait perubahan iklim bahwa kita mengurangi emisi karbon," kata Seto.

 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement