Senin 30 Sep 2024 11:27 WIB

Menyibak Potensi Ekonomi Pangan Lokal, dari Hutan Kapuas Hulu hingga Papua Selatan

Pangan lokal dinilai tak hanya menjadi sumber gizi tapi punya potensi ekonomi.

Rep: Lintar Satria/ Red: Qommarria Rostanti
Para perempuan di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat mendapat pelatihan mengolah daun nyiur atau kelapa menjadi produk rumah tangga yang bernilai ekonomis. (ilustrasi)
Foto: Dok. Web
Para perempuan di Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat mendapat pelatihan mengolah daun nyiur atau kelapa menjadi produk rumah tangga yang bernilai ekonomis. (ilustrasi)

ESGNOW.ID, JAKARTA -- Penutur pangan lokal Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, Ismu Widjaya, sekaligus pemilik restoran Padmi memanfaatkan bahan pangan lokal melalui kemitraan dengan para nelayan, petani, dan peladang. Ismu membeli bahan-bahan makanan seperti ikan-ikan, ubi, dan kacang panjang dari para mitra tersebut.

Ismu menerapkan prinsip bisnis yang adil dengan memberikan harga yang pantas bagi para mitra. Dengan demikian masyarakat setempat juga turut berdaya.

Baca Juga

"Kami tidak hanya meningkatkan kualitas produk kami, tetapi juga kehidupan mereka,” kata pada sesi diskusi IDEAFEST bertajuk "Di Balik Dapur Makan Siang Bergizi: Dari Ladang Hingga ke Piring" di JCC Senayan, Jakarta, Sabtu (28/9/2024).

Ketika berbicara mengenai pangan lokal, Ismu menyatakan kekagumannya terhadap gastronomi masyarakat Dayak di Kapuas Hulu. Sumber bahan pangan di Kapuas Hulu sangat beragam.

Mereka memiliki berbagai tanaman yang dapat mereka manfaatkan menjadi bahan-bahan masakan berkualitas. Contohnya, tanaman kandis serta daun sekumba yang memberikan rasa asam, atau tanaman Sabi yang memiliki cita rasa seperti Wasabi.

"Saya sudah dua tahun tinggal di Kapuas Hulu dan sampai detik ini belum juga selesai mengidentifikasi bahan pangan yang ada. Karena itu saya sangat percaya pada kekuatan bahan pangan lokal. Setiap hidangan bukan hanya tentang rasa, tetapi juga tentang cerita dan sejarah yang menyertainya,” ujar Ismu.

Pegiat sosial Papua Selatan dan Program Manager Yayasan Dahetok Milah Lestari Papua Selatan, Stephanie Cindy Wangko, mengatakan pangan lokal tidak hanya dapat menjadi sumber gizi tetapi juga memiliki potensi ekonomi melalui produk olahan seperti sagu sep, abon gastor, minyak albumin, kacang mete, dan keripik pisang. Ke depan, ia berharap bahwa masyarakat lokal akan lebih dilibatkan dalam menyediakan dan mengolah makanan bergizi dan berkolaborasi bersama organisasi masyarakat sipil untuk memberdayakan potensi

sumber daya alam di kampung.

Pada sesi itu, Cindy juga menyoroti komunitas Suku Marind Anim di Kabupaten Merauke, Papua Selatan. Komunitas tersebut menggantungkan hidup sepenuhnya kepada alam dan memenuhi kebutuhan keseharian mereka dengan meramu, berburu, dan menangkap ikan dengan peralatan tradisional. Flora dan fauna memegang peran penting dalam kosmologi Suku Marind Anim, dengan makanan pokok seperti sagu, pisang, dan ubi-ubian sebagai sumber karbohidrat, serta daging hewan dan ikan sebagai sumber protein, yang membentuk kesehatan fisik mereka.

"Namun, sejak bersentuhan dengan orang luar dan program transmigrasi, orang Marind Anim perlahan berpindah dari sagu ke beras, mengubah pola konsumsi mereka dan merusak habitat pangan lokal. Padahal, dahulu mereka dijuluki raksasa dari Papua Selatan karena konsumsi pangan lokal yang membuat anatomi tubuh mereka sangat kekar dengan tinggi badan rata-rata di 1,75 hingga 2 meter,” ujar Cindy.

Koordinator Nasional Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) sekaligus mitra dari Koalisi Sistem Pangan Lestari (KSPL) Said Abdullah mengatakan Indonesia bisa menjadi negara yang berdaulat pangan, selama semua pihak mau berkomitmen dan mau

mewujudkannya. "Kita punya prasyarat untuk mencapainya, ada produsen pangan skala kecil yang terus berproduksi, ada sumber daya pangan yang melimpah dan beragam. Satu saja yang belum ada, yaitu kesungguhan, komitmen dan kolaborasi yang kuat untuk menjadikan negeri ini berdaulat," ujarnya.

Dia menyebut, dalam konteks negara kepulauan, kedaulatan pangan dapat terwujud dengan memperkuat sistem pangan yang didasarkan pada dua hal yakni diversity dan locality. "Kita punya dua hal ini dan sayangnya kita sekarang mengingkari bahkan membunuhnya. Jadi tidak heran jika kemudian sistem pangan kita masih jauh dari tangguh, daulat pangan makin mengawang," kata dia.

Dengan mengedepankan diversifikasi dan pelestarian pangan lokal, para pemangku kepentingan tidak hanya menjaga kesehatan masyarakat tetapi juga membangun ekonomi yang berkelanjutan guna merealisasikan masa depan yang lebih sehat dan sejahtera bagi generasi mendatang. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement