ESGNOW.ID, JAKARTA -- Upaya pelestarian pangan lokal di berbagai wilayah Indonesia, khususnya di Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, dan Papua, menghadapi tantangan serius di tengah ekspansi cetak sawah dan program swasembada pangan. Masyarakat lokal di kedua wilayah mengkhawatirkan dampak terhadap keberlanjutan sumber daya pangan mereka, yang erat kaitannya dengan hutan dan alam sekitar.
Ismu Widjaya, penutur pangan lokal dari Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, mengungkapkan kekhawatiran terkait hilangnya potensi pangan lokal di daerahnya.
"Di kawasan Danau Sentarum, yang merupakan lahan basah terbesar di Asia Tenggara, terdapat ratusan jenis ikan yang bisa dikonsumsi. Namun, ironi terjadi ketika kebanyakan ikan-ikan tersebut diolah di Pontianak dan dijual kembali ke kampung kami," kata Ismu di IDEAFEST pada sesi diskusi bertajuk “Di Balik Dapur Makan Siang Bergizi: Dari Ladang Hingga ke Piring”, Sabtu (28/9/2024) di JCC Senayan, Jakarta.
Ismu juga menyoroti di daerahnya terdapat sekitar 147 jenis tanaman yang dapat dimanfaatkan sebagai pangan, mulai dari tumbuhan, buah, hingga biji-bijian. Menurutnya, potensi lokal tersebut bisa menjadi solusi bagi ketahanan pangan nasional jika dikembangkan secara serius.
Sementara itu, dari Papua, Stephanie Cindy Wangko menyoroti pentingnya hutan bagi masyarakat lokal dalam menjaga keberlanjutan pangan. "Masyarakat Papua masih sangat bergantung pada hasil hutan untuk sumber protein dan karbohidrat, seperti sagu, talas, ubi jalar, serta hasil buruan seperti rusa dan ikan. Namun, sayangnya, banyak dari hasil buruan tersebut dijual untuk membeli beras atau mi instan," ungkap Stephanie.
Stephanie juga mengkritisi dampak dari Program Strategis Nasional (PSN), yang menargetkan pembukaan lebih dari dua juta hektare hutan untuk cetak sawah. "Hutan bagi masyarakat Papua adalah ibu yang menyediakan segalanya. Jika hutan dibuka, tidak hanya pangan lokal yang hilang, tetapi juga kepercayaan, identitas, dan budaya masyarakat akan terancam musnah," jelasnya.
Ia menambahkan bahwa masyarakat Papua memiliki hubungan spiritual yang kuat dengan alam, di mana flora dan fauna dianggap sebagai simbol totem yang berkaitan dengan leluhur mereka. Pembukaan hutan secara besar-besaran, menurut Stephanie, akan menghancurkan identitas lokal yang sudah terjaga selama berabad-abad.
Kedua penutur lokal ini berharap agar pemerintah memperhatikan potensi pangan lokal sebagai bagian dari solusi ketahanan pangan, tanpa merusak ekosistem alam yang telah menjadi bagian penting dari kehidupan masyarakat setempat.