Sabtu 05 Oct 2024 12:00 WIB

Kebijakan Komprehensif Pemerintah Diyakini Mampu Dorong Bioethanol Sebagai BBN

Dari sisi harga terjadi tarik menarik antara bioethanol untuk energi dan makanan

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Erdy Nasrul
Di ajang GAIKINDO Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2024, Pertamina berkolaborasi dengan Toyota untuk melakukan pengisian perdana dan test drive penggunaan Bioethanol yang bersumber dari batang tanaman Sorgum.
Foto: Pertamina
Di ajang GAIKINDO Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2024, Pertamina berkolaborasi dengan Toyota untuk melakukan pengisian perdana dan test drive penggunaan Bioethanol yang bersumber dari batang tanaman Sorgum.

ESGNOW.ID,  JAKARTA -- Pengamat energi Satya Widya Yudha optimistis Pemerintah melalui kebijakan komprehensif mampu mendorong bioethanol sebagai bahan bakar nabati (BBN). Upaya ini perlu dilakukan guna mengejar target net zero emission (NZE) pada 2060.

“Saya yakin dengan kebijakan komprehensif dan terobosan baru, Pemerintah bisa menuntaskan berbagai hambatan untuk mendorong bioethanol sebagai BBN,” kata Satya kepada wartawan, Sabtu (5/10/2024).

Baca Juga

Menurut Satya, hal terpenting memang mengurai terlebih dahulu hambatan yang ada. Kalau sudah terurai, barulah bioethanol bisa diproduksi massal.

"Bioethanol harus didorong. Tetapi memang masih ada hambatan. Dan menurut saya, semua permasalahan harus segera diselesaikan,” ujar Satya.

Apa saja yang harus segera diatasi?

Pertama, kata Satya, keterbatasan sumber daya alam dan variasi bahan baku. Sebab sebagian besar sumber dayanya masih berasal dari tanaman pangan.

"Dari sisi harga masih terjadi tarik menarik antara bioetanol untuk energi, atau bioetanol untuk makanan,” ujar anggota Dewan Energi Nasional periode 2020-2024 tersebut.

Sedangkan tantangan kedua, menurut Satya, adalah tidak adanya mekanisme insentif untuk menutupi perbedaan antara harga bioetanol dan bensin.

Ketiga, Satya menyoroti belum ada kebijakan yang mengintegrasikan sektor hulu hingga hilir yang menyebabkan bahan baku sulit diperoleh dengan harga wajar.

"Juga, luas lahan berkurang dengan tingkat produktivitas yang stagnan," ujar Satya.

Keempat, lanjut Satya, perlu adanya peraturan lintas kementerian dan lembaga yang mengatur peran dan kewajiban pemangku kepentingan dalam pelaksanaan mandatori bioetanol.

Apalagi, Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) Indonesia memasang target produksi bioetanol sebesar 13,7 juta kiloliter mulai tahun depan. Sehingga menurut Satya, semua hambatannya harus segera diselesaikan.

“Yang penting harus mengurai hambatan-hambatannya. Tetapi Saya yakin, dengan terobosan baru dari pemerintahan baru hambatan itu akan bisa dituntaskan,” ujar Satya.

Menurut Satya, setelah mengurai dan menemukan solusi dari hambatan-hambatan tersebut, barulah membahas kemampuan produksi bioethanol. Satya menghitung, saat ini produksi maksimal bioetanol nasional baru sekitar 63.000 kiloliter.

“Bila dihitung, rata-rata produksi bioetanol sekitar 40.000 kiloliter per tahun. Keterbatasan produksi memang jadi tantangan saat ini karena masih mengandalkan bahan baku berupa molase. Maka, diversifikasi bahan baku seperti batang kelapa sawit tua, sorgum manis atau mikroalga perlu digalakkan agar tidak kekurangan bahan baku jika bioethanol sudah diproduksi massal,” kata Satya.

Bahkan untuk bioetanol dengan bauran 2% saja, menurut perhitungan Satya, tidak akan mampu memenuhi kebutuhan BBM masyarakat. Sebab, dengan bauran sebesar itu dibutuhkan 750.000 kiloliter bioethanol per tahun untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia.

Itu sebabnya, Satya mendorong pemerintah segera menyusun kebijakan yang komprehensif dan memastikan bahwa program bioetanol itu berjalan dengan baik. Di antaranya pemberian insentif, penyusunan peta jalan, dan rencana aksi.

"Ini termasuk target kebijakan penyediaan lahan, diversifikasi bahan baku dari kementerian/lembaga terkait," ujar Satya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement