ESGNOW.ID, DEN HAAG -- Vanuatu yang mempelopori sidang dengar pendapat Mahkamah Internasional (ICJ) mengenai kewajiban hukum negara-negara menanggulangi perubahan iklim dan membantu negara berkembang mengatasinya, mengecam negara-negara penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia. Negara-negara yang dimaksud, antara lain, adalah Amerika Serikat (AS) dan Cina.
Pada Rabu (4/12/2024) lalu, perwakilan AS dalam sidang dengar pendapat ICJ, Margaret Taylor membela status quo negara-negara kaya di perjanjian iklim, setelah Vanuatu mendesak negara-negara maju bertanggung jawab atas emisi mereka. "Setiap kewajiban hukum terkait mitigasi perubahan iklim yang diidentifikasi pengadilan harus diinterpretasi sesuai dengan kewajiban negara-negara di bawah rezim perjanjian," kata Taylor yang merupakan penasihat hukum Departemen Luar Negeri AS, seperti dikutip The Hill, Kamis (5/12/2024).
Penasihat hukum Kementerian Luar Negeri Cina Ma Xinming juga menyampaikan pernyataan serupa. Ia mengatakan Beijing berharap ICJ dapat mempertahankan mekanisme negosiasi perubahan iklim PBB sebagai saluran utama pengelolaan iklim global. Cina dan AS merupakan penghasil emisi terbesar di dunia.
Vanuatu yang merupakan kepulauan dengan 83 pulau membuka sidang dengar pendapat ini dengan meminta negara-negara yang teridentifikasi mempertanggung jawabkan emisinya. "Kami jelas sangat kecewa dengan pernyataan yang disampaikan pemerintah Australia, Amerika Serikat, Arab Saudi, dan Cina selama sidang ICJ," kata utusan khusus Vanuatu untuk Perubahan Iklim dan Lingkungan, Ralph Regenvanu.
Ia mengatakan negara-negara tersebut merupakan penghasil gas emisi rumah kaca terbesar di dunia. Tapi mereka hanya menegaskan perjanjian-perjanjian yang sudah ada. "Yang sayangnya gagal memotivasi pemangkasan emisi yang substansial," katanya.
Pendapat ICJ tidak mengikat secara hukum dan AS serta Cina tidak sepenuhnya mengakui otoritas pengadilan tersebut. Namun, putusan yang berpihak pada Vanuatu dapat menjadi preseden besar bagi tuntutan hukum dampak perubahan iklim lainnya.
Proses pengadilan ini dimulai setelah konferensi perubahan iklim PBB COP29 di Azerbaijan, yang diakhiri dengan kesepakatan yang sangat mengecewakan banyak negara yang paling rentan.