Selasa 21 Jan 2025 15:41 WIB

Perdagangan Karbon, Solusi Iklim atau Celah Greenwashing?

KLH memastikan SPE yang dikeluarkan memiliki integritas tinggi.

Rep: Lintar Satria / Red: Satria K Yudha
Pengunjung mengamati layar yang menampilkan informasi pergerakan perdagangan karbon internasional pada awal pembukaan di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Senin (20/1/2025).
Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Ramdan
Pengunjung mengamati layar yang menampilkan informasi pergerakan perdagangan karbon internasional pada awal pembukaan di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Senin (20/1/2025).

ESGNOW.ID,  JAKARTA -- Kementerian Lingkungan Hidup, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan PT Bursa Efek Indonesia (BEI) meresmikan Perdagangan Internasional Perdana Unit Karbon Indonesia melalui Bursa Karbon Indonesia (IDXCarbon) pada Senin (20/1/2025). Pemerintah menyatakan, perdagangan karbon internasional ini wujud komitmen Indonesia setelah COP 29 dan sebagai bukti Artikel 6 Perjanjian Paris dapat dijalankan.

Artikel 6 dari Perjanjian Paris berfokus pada pendekatan kooperatif dalam mencapai target pengurangan emisi gas rumah kaca melalui mekanisme pasar dan non-pasar. Itu termasuk dengan mekanisme seperti perdagangan karbon dan kolaborasi internasional untuk mencapai target pemangkasan emisi yang ditetapkan masing-masing negara (NDC).

Baca Juga

Skema perdagangan karbon internasional ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk mencapai (NDC) dalam mengurangi emisi gas rumah kaca. Namun menurut pengamat, seharusnya pemerintah menerapkan pajak karbon terlebih dahulu sebelum menyelenggarakan perdagangan karbon internasional.

Pendiri Climate Justice Literacy Firdaus Cahyadi mengatakan, perdagangan karbon cenderung menguntungkan perusahaan penghasil emisi gas rumah kaca, seperti memberikan hak pada emitor untuk terus menghasilkan emisi gas rumah kaca dengan kompensasi membeli kredit karbon. "Pemerintah seharusnya menerapkan terlebih dahulu pajak karbon sebelum terlibat dalam perdagangan karbon," katanya, Selasa (21/1/2025).

Ia mengatakan jika banyak perusahaan pencemar yang membeli kredit karbon dari Indonesia, maka perdagangan karbon memang dapat mengurangi emisi. Tapi itu tidak mengurangi emisi gas rumah kaca di atmosfer secara keseluruhan. "Karena perusahaan pencemar masih boleh atau diberi hak untuk mengemisikan gas rumah kaca karena sudah beli kredit karbon," katanya.

Menurutnya, karena tidak mengubah pola produksi perusahaan pencemar, maka perdagangan karbon dapat digunakan untuk greenwashing atau praktik menyesatkan yang dilakukan perusahaan tentang seberapa ramah lingkungan produk atau layanan mereka.

Namun, dalam peresmian perdagangan karbon internasional, Senin (20/1/2025), Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq menegaskan Sertifikat Pengurangan Emisi (SPE) yang dikeluarkan Indonesia sudah dipastikan merupakan SPE yang memiliki integritas tinggi.

“Pemerintah Indonesia menjamin bahwa setiap sertifikat yang diterbitkan untuk perdagangan karbon luar negeri telah disahkan atau diotorisasi sebagai upaya safeguarding terhadap terjadinya double accounting, double payment, dan double claim,” kata Hanif seperti dikutip dari siaran pers IDX.

Dalam pernyataannya, IDX mengatakan Indonesia siap memulai perdagangan karbon internasional dengan menawarkan 1.780.000 ton CO2e dari lima pembangkit listrik yang dimiliki PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Pembangkit tersebut termasuk pembangkit listrik berbahan bakar gas dan proyek energi terbarukan.  

IDX menambahkan sejak diluncurkan pada 26 September 2023, aktivitas perdagangan di IDXCarbon menunjukkan perkembangan positif. Pada akhir 2024, peserta yang terdaftar sebagai Pengguna Jasa Bursa Karbon mencapai 100 partisipan, meningkat pesat dari hanya 16 Pengguna Jasa saat peluncuran IDXCarbon. IDXCarbon juga telah memperdagangkan satu juta ton unit karbon. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement