Kamis 30 Jan 2025 08:00 WIB
100 Hari Pemerintahan Prabowo Gibran

Swasembada Pangan dan Tantangan Lingkungan

Program hutan pangan dan energi disebut akan menggunakan sistem agroforestri.

Rep: Lintar Satria / Red: Satria K Yudha
Petani memindahkan bibit padi siap tanam ke area sawah yag tidak terendam banjir di Desa Gentasari, Kroya, Cilacap, Jawa Tengah, Rabu (4/12/2024).
Foto:

Menurut Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Uli Arta Siagian, proyek ini berpotensi menjadi legalisasi deforestasi. Uli mengatakan, selama 57 tahun terakhir, dari era Suharto hingga Joko Widodo, sekitar 45 juta hektare hutan di Indonesia telah terdeforestasi secara legal.

Izin yang diberikan untuk sektor perhutanan, seperti hutan tanaman industri (HTI) dan perkebunan, telah mengakibatkan hilangnya hutan yang signifikan. "Jika proyek 20 juta hektare ini dilaksanakan, maka dalam waktu singkat, kita akan kehilangan setengah dari total deforestasi yang terjadi dalam lebih dari lima dekade. Ini menunjukkan betapa seriusnya ancaman yang dihadapi oleh ekosistem hutan kita," kata Uli, beberapa waktu lalu.

Uli mencatat Kementerian Kehutanan mengklaim proyek ini tidak akan menyerupai deforestasi karena lahan yang digunakan tidak dibuka tapi dicadangkan. Namun, menurut Uli, sejak dulu Pemerintah Indonesia gagal dalam melindungi hutan dan mengelola sumber daya alam dengan bijaksana.

Hutan yang seharusnya menjadi rumah bagi masyarakat adat dan komunitas lokal diprivatisasi dan diberikan kepada korporasi, yang mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah. Uli menegaskan dampak dari pengelolaan hutan yang buruk ini sangat nyata.

Dalam periode 2015 hingga 2022, Uli mencatat bencana hidrometeorologi, yang Walhi sebut sebagai bencana ekologis meningkat secara signifikan. Data menunjukkan lebih dari 10.191 orang meninggal atau hilang akibat bencana ini, sementara lebih dari 43 juta jiwa mengalami luka, mengungsi, dan terdampak.

Uli mengatakan kerugian ekonomi yang ditanggung negara mencapai Rp 101,2 triliun. Bencana seperti banjir dan longsor sangat dipengaruhi oleh perubahan iklim, yang pada gilirannya dipengaruhi cara negara mengelola ekosistem penting seperti hutan.

Pada periode yang sama juga terjadi ekspansi perkebunan sawit besar-besaran. Dari 2009 hingga 2022, Uli mengatakan, luas lahan sawit meningkat dari 7 juta hektare menjadi lebih dari 20 juta hektare.

Jika pemerintah melanjutkan instruksi untuk membuka keran ekspansi sawit, maka dampaknya akan sangat merugikan masyarakat. Kebijakan biodiesel, yang seharusnya memberikan manfaat bagi rakyat, justru menguntungkan segelintir korporasi besar yang menguasai lahan dan industri hilir.

Dalam konteks pangan, proyek ini berpotensi merusak lahan pertanian masyarakat lokal. Di Merauke, misalnya, hutan adat yang menjadi sumber pangan bagi masyarakat setempat dibuka untuk cetak sawah dan kebun tebu.

"Pertanyaannya adalah, pangan siapa yang sebenarnya ingin dipenuhi? Sementara masyarakat Papua kehilangan sumber pangan mereka, proyek ini justru menguntungkan pihak-pihak tertentu yang tidak peduli dengan keberlangsungan hidup masyarakat lokal," kata Uli.

Begitu juga dengan isu air. Pembongkaran hutan akan merusak sumber air yang sangat penting bagi kehidupan. Proyek pembangunan bendungan dan infrastruktur lainnya sering kali mengakibatkan pengusiran masyarakat dari tanah mereka. "Banyak desa yang tenggelam akibat pembangunan bendungan, menghilangkan lahan produktif yang dikelola dengan baik oleh masyarakat," katanya.

Ia mengatakan proyek 20 juta hektare hutan yang direncanakan pemerintah harus ditinjau kembali dengan serius. "Kita tidak bisa mengorbankan hutan dan kehidupan masyarakat demi kepentingan korporasi. Perlindungan hutan bukan hanya tentang menjaga pohon, tetapi juga tentang melindungi ruang hidup bagi masyarakat, menjaga keseimbangan ekosistem, dan memastikan keberlanjutan sumber daya alam," katanya.

Rencana pembukaan 20 juta hektare lahan hutan ini juga menjadi perhatian kalangan akdemisi. Guru Besar Kehutanan UGM Widiyatno mengatakan, pemerintah tidak perlu membuka lahan baru dengan merusak hutan, namun dapat dilakukan dengan memanfaatkan lahan di hutan yang sudah tidak produktif atau terdegradasi. Apalagi, pemerintah sudah berkomitmen menurunkan karbon emisi hingga kurang dari 198,27 juta ton pada tahun 2025.

“Pembukaan lahan akan lebih tepat apabila memanfaatkan hutan degradasi menjadi produktif dan bisa bermanfaat untuk segi pangan dan lingkungan,” katanya.

Hal serupa ditekankan Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) University, Yanto Santosa. Ia menyatakan sekitar 31,8 juta hektare kawasan hutan yang tidak berhutan atau terdegradasi dapat dimanfaatkan untuk pengembangan pangan dan energi.

Pada 2020, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyatakan ada sekitar 31,8 juta hektare kawasan hutan yang tidak berhutan atau terdegradasi. "Kawasan hutan yang sudah rusak ini sebaiknya dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian dalam rangka menggapai ketahanan pangan maupun ketahanan energi," ujar Yanto.

Menurut dia, penambahan lahan pertanian di kawasan hutan bukanlah kegiatan deforestasi apabila dilakukan di kawasan hutan yang sudah tidak berhutan atau terdegradasi. Oleh karena itu, ia mendukung rencana pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang akan mengoptimalkan lahan tersebut untuk kegiatan pertanian. 

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement