Selasa 04 Feb 2025 15:24 WIB

Ekosistem Gambut dan Mangrove Kunci Penuhi Target Pengurangan Emisi

Pembasahan kembali lahan perkebunan kelapa sawit dapat mengurangi emisi karbon.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Sejumlah siswa menanam pohon di hutan kota Nyaru Menteng, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Kamis (28/11/2024). Kegiatan aksi sosial peduli lingkungan dengan menanam pohon buah di lahan tanah gambut yang diinisiasi oleh PLN Unit Induk Pembangunan Kalimantan Bagian Barat tersebut dalam rangka memperingati Hari Menanam Pohon Indonesia serta sebagai upaya mitigasi perubahan iklim.
Foto:

Indonesia merupakan salah satu wilayah dengan lahan gambut tropis dan hutan mangrove terluas di dunia. Staf Ahli Menteri Kehutanan Bidang Perubahan Iklim yang juga salah satu kontributor dalam penelitian ini, Haruni Krisnawati mengatakan, kedua ekosistem tersebut memiliki karakteristik fisik dan ekologi yang serupa. Terutama, tanahnya yang jenuh air serta terbatasnya oksigen dalam jangka waktu yang lama.

"Kondisi ini menyebabkan berkurangnya tingkat dekomposisi bahan organik, sehingga ekosistem ini menjadi penyerap karbon paling efektif di Bumi, menyimpan sejumlah besar karbon di tanah mereka," kata Haruni.  

Selain itu, lebih dari 90 persen cadangan karbon di kedua lahan basah ini tersimpan di tanah, bukan pada berbagai tumbuhan (vegetasi) di atasnya. Artinya, sebagian besar karbon yang tersimpan bersifat “irrecoverable” atau rentan terhadap pelepasan karbon akibat aktivitas manusia dan jika hilang tidak mudah untuk dipulihkan.

Dengan karakteristiknya tersebut, baik lahan gambut maupun mangrove menjadi ekosistem penyerap karbon yang paling efisien di dunia dan menjadi solusi alami yang penting untuk memitigasi perubahan iklim serta membantu negara-negara mencapai target nol karbon.

“Namun ketika lahan gambut dan mangrove terganggu, biasanya karena alih fungsi lahan, mereka akan melepas karbon dalam jumlah besar ke atmosfer,” kata Sigit yang merupakan kepala penelitian ini.

Salah satu penulis artikel dan Senior Manager Karbon Kehutanan dan Iklim YKAN, Nisa Novita mengatakan melestarikan lahan gambut dan mangrove yang masih tersisa serta merestorasi ekosistem lahan basah yang terdegradasi merupakan solusi iklim alami hemat biaya yang dapat membantu negara-negara Asia Tenggara mencapai target pemangkasan emisi yang ditetapkan sendiri (NDC).

“Hal ini khususnya berlaku untuk Indonesia, di mana potensi mitigasi dari konservasi dan pemulihan lahan basah saja dapat melampaui target pengurangan emisi negara tersebut untuk tahun 2030 dalam skenario mitigasi tanpa syarat,” terang Nisa.

Analisis terperinci terkait hal ini dapat dilihat dalam jurnal sebelumnya, yang telah terbit di Environmental Letter. YKAN masih terus menyempurnakan perhitungan emisi gas rumah kaca untuk menilai dampak konservasi dan restorasi khususnya di lahan gambut.

Pengukuran emisi Gas Rumah Kaca dari tanah dan badan air dilakukan di berbagai jenis tutupan lahan di Kalimantan dan Sumatera. Dari pemantauan emisi gas rumah kaca jangka panjang selama beberapa tahun, YKAN melaporkan pembasahan kembali lahan perkebunan kelapa sawit dapat mengurangi emisi karbon bersih hingga 34 persen.

YKAN juga mengkaji emisi gas dari lahan gambut yang secara hidrologis tidak terganggu di Muara Siran, Provinsi Kalimantan Timur, dan menemukan bahwa lahan gambut alami menghasilkan emisi metana secara signifikan dengan emisi CO2 yang rendah.  Tidak hanya berperan untuk mitigasi perubahan iklim, lahan basah seperti rawa-rawa, gambut dan mangrove juga dikenal sebagai “ginjal” bumi karena mampu memurnikan air.

Lahan basah juga mampu melindungi dari erosi serta menjadi habitat bagi beragam satwa endemik, yang sebagian diantaranya kini terancam punah. Begitu pentingnya keberadaan lahan basah sehingga setiap tanggal 2 Februari diperingati sebagai Hari Lahan Basah Sedunia.

Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki tipe ekosistem lahan basah yang lengkap, seperti lahan gambut, mangrove, riparian, rawa, hingga sawah. Namun, saat ini belum ada data yang terverifikasi berapa luasan yang sudah terdegradasi dan perlu segera direstorasi.

“Selain dapat memberikan kontribusi besar terhadap perubahan iklim, pemulihan dan perlindungan ekosistem lahan basah juga penting di luar manfaat karbon untuk melindungi mata pencaharian masyarakat dan menjaga keanekaragaman hayati yang tinggi serta beragam ekosistemnya,” kata Nisa.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement