Selasa 25 Feb 2025 10:35 WIB

Lima Permasalahan Lingkungan Ini Jadi PR Kepala Daerah di Jabodetabek

Jakarta dan wilayah penopangnya saat ini berada di garis depan dampak krisis iklim.

Rep: Lintar Satria / Red: Satria K Yudha
Deretan gedung bertingkat yang tertutup polusi di Jakarta, Jumat (21/6/2024).
Foto: ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto
Deretan gedung bertingkat yang tertutup polusi di Jakarta, Jumat (21/6/2024).

ESGNOW.ID,  JAKARTA -- Kepala daerah di Jabodetabek diharapkan dapat serius menyelesaikan permasalahan beban sosial dan ekonomi masyarakat yang berkaitan erat dengan krisis iklim dan lingkungan. Menurut Greenpeace Indonesia, ada lima masalah iklim dan lingkungan yang harus menjadi fokus bagi para kepala daerah di Jabodetabek.

Juru Kampanye Sosial dan Ekonomi Greenpeace Indonesia Jeanny Sirait mengatakan, kelima masalah tersebut adalah polusi udara, banjir dan kekeringan, minimnya Ruang Terbuka Hijau (RTH), kenaikan permukaan air laut, dan perluasan pulau panas perkotaan (urban heat island). "Kelima masalah ini memberikan dampak signifikan bagi kenyamanan dan keamanan hidup warga, serta dampak buruk bagi perekonomian daerah," kata Jeanny dalam pernyataannya, dikutip pada Selasa (25/2/2025).  

Baca Juga

Hampir seluruh kota besar di Indonesia berada di kawasan pesisir, termasuk Jakarta dan wilayah penopangnya saat ini berada di garis depan dampak krisis iklim. Berbagai masalah terkait lingkungan dan iklim kerap melanda wilayah ini.

Sepanjang tahun 2024 polusi udara masih menjadi permasalahan utama di Jabodetabek. Adapun pada awal tahun ini, sebagian wilayah Jabodetabek terindikasi memiliki kualitas udara yang “tidak sehat” untuk dihirup makhluk hidup.  

Jeanny mengatakan salah satu sumber dari polusi udara di Jabodetabek adalah PLTU batu bara. Permasalahan yang melibatkan kebijakan antar wilayah ini tidak juga mampu diselesaikan karena absennya koordinasi politik antar pemerintah daerah.

Padahal, polusi udara diperkirakan mengakibatkan 2.500 kematian prematur dan kerugian sebesar Rp 5,1 triliun per tahun di wilayah Jabodetabek.  Polusi udara yang melanda Jabodetabek pun memiliki kaitan erat dengan minimnya RTH di wilayah ini.

Jeanny mengatakan ruang terbuka hijau di Jakarta hingga 2023 masih mencakup 5,2 persen dari total wilayah kota, sementara Tangerang Selatan hanya memiliki 8,5 persen RTH. Ia menambahkan luasan RTH di dua kota tersebut masih jauh dari standar ideal sebesar 30 persen sehingga berdampak buruk terhadap kualitas udara, peningkatan suhu, serta memperburuk dampak krisis iklim.

“Padahal, tanaman pada RTH dapat membantu penyerapan karbon dioksida yang menjadi salah satu pemicu polusi udara, dan fungsi lahan terbuka hijau dapat meningkatkan wilayah resapan air yang akan sangat membantu pada musim penghujan dan musim kemarau,” kata Jeanny.

Di sisi lain, RTH juga dapat membantu menurunkan suhu dan mencegah perluasan pulau panas perkotaan (urban heat island). Pembangunan pesat dan konversi lahan vegetasi menjadi properti yang tidak terencana, dan tidak sesuai dengan daya dukung kota memperluas lahan gersang sehingga meningkatkan suhu di wilayah perkotaan.

Di Jabodetabek, kata Jeanny, fenomena ini meluas ke arah kota Tangerang, Tangerang Selatan, dan Bekasi yang membuat suhu kawasan perkotaan 3-6 derajat celsius lebih tinggi dibanding kawasan perdesaan.

Sementara itu, cuaca ekstrem akibat krisis iklim menyebabkan wilayah Jabodetabek mengalami banjir saat curah hujan tinggi, dan kekeringan di musim kemarau panjang. Banjir yang melanda Jakarta setiap tahun melumpuhkan perekonomian dan diperkirakan mengakibatkan kerugian sebesar Rp 2,1 triliun per tahun.

Sementara itu, kekeringan yang melanda di kala musim kemarau panjang membuat petani di Bekasi menanggung rugi hingga puluhan jutaan rupiah, dan meningkatkan pengeluaran warga menengah ke bawah akibat harus membeli air bersih seharga Rp 5.000 hingga Rp 10.000 per jeriken. Hal ini menunjukkan kerentanan kelompok masyarakat menengah ke bawah di Jabodetabek yang harus mengeluarkan biaya lebih untuk memenuhi kebutuhan dasar, salah satunya air bersih.  

Sebagai wilayah yang sebagian besar berada di pesisir, Jabodetabek pun rentan terhadap kenaikan permukaan air laut yang dapat menenggelamkan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil akibat banjir rob dan abrasi. Kedua fenomena tersebut juga dapat merusak infrastruktur dan mengancam kehidupan masyarakat yang tinggal di daerah tersebut.

Khusus di wilayah Jakarta, permukaan tanah terus menurun rata-rata 5 cm per tahun. Wilayah utara Jakarta bahkan tercatat menurun sebanyak 7,44 hingga 8,47 cm per tahun. Wilayah lain yang menghadapi kerentanan lebih buruk akibat kenaikan permukaan air laut adalah wilayah Kepulauan Seribu.

Kenaikan permukaan laut terus mengikis bibir pantai dan menyebabkan abrasi di pinggiran pulau dengan luas lebih dari 42 hektar di Pulau Pari, Kepulauan Seribu. Jika hal ini terus terjadi, Pulau Pari beserta permukiman warga diperkirakan akan tenggelam dalam beberapa tahun ke depan.

Jeanny menjelaskan, masalah-masalah ini berdampak pada kerentanan sosial, memperparah kemiskinan, dan memperburuk ketidakadilan sosial dan ekonomi di wilayah Jabodetabek. Masyarakat miskin, kelompok menengah dan kelompok rentan di wilayah ini jadi kelompok yang akan merasakan dampak paling parah karena keterbatasan kemampuan mereka untuk beradaptasi dan mitigasi krisis iklim.

"Kepala daerah memiliki peran sentral dalam mengatasi masalah ini demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat melalui ketahanan dan keadilan iklim di perkotaan,” kata Jeanny. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement