Selasa 22 Apr 2025 20:06 WIB

Semua Agama Ajarkan Umatnya untuk Merawat Bumi

Wamendikdasmen menyoroti pentingnya dimensi spiritual dalam pelestarian lingkungan.

Rep: Lintar Satria / Red: Satria K Yudha
Seruan untuk menjaga bumi dari perubahan iklim (ilustrasi).
Foto: www.freepik.com
Seruan untuk menjaga bumi dari perubahan iklim (ilustrasi).

ESGNOW.ID,  JAKARTA – Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Wamendikdasmen) Fajar Riza Ul Haq menegaskan bahwa harmoni antarumat beragama dan kepedulian terhadap lingkungan hidup adalah dua pilar penting dalam membangun masa depan bangsa yang berkelanjutan. Ia mengatakan, semua agama mengajarkan umatnya untuk merawat bumi.

Fajar menyampaikan hal itu saat menghadiri forum Social Cohesion: Harmony in Action yang diselenggarakan Wahid Foundation bekerja sama dengan Temasek Foundation, di Jakarta, Selasa (22/4/2025). Dalam sambutannya, Fajar menyampaikan belasungkawa atas wafatnya Paus Fransiskus, yang ia sebut sebagai sosok panutan dunia dalam perjuangan keadilan dan kemanusiaan. "Paus Fransiskus adalah simbol keteladanan moral di tengah dunia yang sarat tantangan," ujarnya, Selasa (22/4/2025).

Baca Juga

Ia menggarisbawahi relevansi pesan Paus dalam ensiklik Laudato Si’ (2015) yang menyatakan bahwa bumi adalah rumah bersama umat manusia, tanpa memandang agama atau kepercayaan. “Kita semua memikul tanggung jawab moral yang sama untuk merawat bumi,” tegasnya.

Menurut Fajar, nilai-nilai pelestarian alam dan persaudaraan lintas iman tak hanya ada dalam ajaran Katolik, tetapi juga tercermin dalam Islam, Hindu, Buddha, dan berbagai kepercayaan lokal. Ia pun memuji Wahid Foundation atas konsistensinya mencetak kader muda lintas agama yang membawa semangat Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam semesta (rahmatan lil ‘alamin).

Dalam forum tersebut, Wamendikdasmen membagikan kisah-kisah inspiratif dari dunia pendidikan, seperti Suster Fantiana Maria dari Maumere, NTT, yang menyelesaikan studi kesejahteraan sosial di Universitas Muhammadiyah Madiun. “Ia diterima penuh oleh komunitas Muslim kampus—sebuah bukti bahwa perbedaan iman justru memperkaya, bukan memisahkan,” ujarnya.

Kisah serupa datang dari Ermelinda A Hale, biarawati yang menempuh pendidikan keguruan di Universitas Muhammadiyah Sorong, serta kunjungan Fajar ke Universitas Muhammadiyah Kupang, di mana mayoritas mahasiswanya beragama Katolik. “Ini menunjukkan lembaga pendidikan Islam dapat menjadi ruang yang inklusif dan melampaui batas identitas,” kata Fajar

.

Sebagai Ketua Lembaga Kajian dan Pengetahuan Strategis PP Muhammadiyah, ia juga menginisiasi pertemuan mahasiswa lintas iman, termasuk mahasiswa Buddha asal Aceh, untuk memperkuat dialog dan komitmen kebangsaan di Bali.

Fajar menegaskan bahwa gerakan masyarakat sipil seperti Wahid Foundation memegang peran vital dalam memperkuat harmoni sosial lintas iman. Namun, ia menekankan pentingnya dukungan kebijakan pemerintah agar sinergi ini tidak terganjal birokrasi atau politik identitas yang destruktif.

"Mewariskan air mata kebencian bukanlah pilihan. Yang harus diwariskan adalah mata air persaudaraan," ujar Fajar.

Ia mengapresiasi sosok-sosok lintas iman seperti almarhum Buya Syafii Maarif dan Romo Magnis Suseno, yang telah merintis jalan dialog antaragama di Indonesia. "Meski kita lebih maju dibanding era Orde Baru, tantangan intoleransi masih nyata dan harus terus kita lawan," katanya.

Fajar juga menyoroti pentingnya dimensi spiritual dalam upaya pelestarian lingkungan. Ia mengutip hadis Nabi Muhammad SAW tentang larangan boros air saat wudu, bahkan di tepi sungai, sebagai cerminan nilai ekologis yang telah diajarkan sejak dulu dalam Islam.

Ia lantas memperkenalkan konsep fiqih transisi energi berkeadilan sebagai panduan etis untuk menjawab kebutuhan energi sekaligus menjaga keberlanjutan bumi. Ada lima prinsip utama dalam konsep tersebut, Pertama adalah kesalehan, yaitu oengelolaan sumber daya alam sebagai ekspresi tanggung jawab moral manusia sebagai khalifah.

Kedua, regulatif. Dibutuhkan aturan tegas dan kolaboratif agar tidak terjadi penyalahgunaan sumber daya. Ketiga adalah kemaslahatan. Dia menjelaskan, pemanfaatan sumber daya harus memberi manfaat seluas-luasnya, bukan hanya pada kelompok tertentu. Keempat, musyawarah. Keputusan terkait eksploitasi alam harus melalui dialog inklusif dan partisipatif.

Terakhir adalah konservasi. Ia menjelaskan, setiap aktivitas ekonomi wajib diimbangi dengan upaya pemulihan lingkungan secara berkelanjutan. “Transisi energi bukan hanya persoalan teknis, tapi juga persoalan etika dan keadaban manusia,” tegasnya.

Fajar menyatakan bahwa dengan prinsip ini, pembangunan nasional bisa tumbuh seimbang, memadukan kemajuan ekonomi dan kelestarian ekosistem, sesuai dengan nilai-nilai moderasi beragama dan Pancasila.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement