ESGNOW.ID, JAKARTA — Forest and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030 menjadi strategi utama Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan. Namun, pendanaan untuk inisiatif ini masih menjadi tantangan besar, terutama dari negara maju.
Dewan Penasihat dan Project Director FOLU NC-1, Agus Justianto, menyebut realisasi pendanaan FOLU melalui Result Based Payment (RBP) dari Norwegia membutuhkan negosiasi panjang. “Pada 12 September 2022, akhirnya terjadi realisasi pembayaran melalui Result Based Payment yang telah lama dinantikan,” ujar Agus dalam Journalist Workshop Indonesia FOLU Net Sink 2030, Jumat (17/5/2025).
Skema pembayaran nilai karbon terdiri atas beberapa jenis, yaitu pertahanan karbon dan offset emisi, Result Based Payment, serta pajak karbon. Dari ketiganya, menurut Agus, RBP memiliki “sejarah panjang dan proses yang tidak mudah untuk direalisasikan.”
Agus menjelaskan, komitmen Norwegia berawal dari Letter of Intent (LoI) yang dikirim pada 2011 dengan janji kompensasi sebesar 10 miliar dolar AS. Namun, realisasinya sempat terhenti di masa Presiden Joko Widodo. Norwegia baru membuka kembali negosiasi dan menyepakati skema baru bernama Result Based Contribution (RBC) dengan esensi yang sama.
RBC diberikan dalam beberapa tahap, dimulai dari 54 juta dolar AS (tahap I), 100 juta dolar AS (tahap II dan III), dan 60 juta dolar AS (tahap IV). “Saat ini RBC tahap kelima masih dalam tahap negosiasi,” ucap Agus. Meski total belum mencapai janji awal, Agus menyebut langkah ini sebagai bukti komitmen Norwegia.
Dana tersebut dikelola melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH). “Pengelolaan dana ini harus memenuhi prinsip good governance dan akuntabilitas agar manfaatnya dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat,” kata Agus.
Ia juga menyebut Norwegia sempat meragukan tata kelola Indonesia, yang kini coba ditepis dengan transparansi dan sistem verifikasi ketat.
Masyarakat di sekitar hutan menjadi penerima manfaat utama, termasuk melalui program kerja sama dengan Green Climate Fund (GCF) dan World Bank. Verifikasi juga dilakukan di hampir 35 provinsi. “Jika suatu program tidak sesuai dengan rencana operasional, maka akan ditolak oleh tim verifikasi,” ujarnya.
Agus menegaskan pentingnya tata kelola dalam menjaga kepercayaan mitra internasional. “Melalui mekanisme penyampaian informasi dan kredit karbon, kami ingin membuka kesempatan seluas-luasnya bagi semua pihak untuk berpartisipasi dan mendapatkan manfaat dari program ini,” katanya.