Kamis 08 May 2025 19:46 WIB

Sambangi Indonesia, Utusan Inggris Ungkap Tantangan Aksi Iklim

Tantangan aksi iklim bukan hanya soal pendanaan.

Rep: Lintar Satria / Red: Satria K Yudha
Seorang anggota komunitas menyalakan lilin saat pemadaman lampu selama satu jam pada peringatan Earth Hour di Hotel Best Western Plus Coco, Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu (22/3/2025) malam.
Foto: ANTARA FOTO/Basri Marzuki
Seorang anggota komunitas menyalakan lilin saat pemadaman lampu selama satu jam pada peringatan Earth Hour di Hotel Best Western Plus Coco, Palu, Sulawesi Tengah, Sabtu (22/3/2025) malam.

ESGNOW.ID,  JAKARTA — Perwakilan Khusus Inggris untuk Perubahan Iklim, Rachel Elizabeth Kyte, menekankan bahwa tantangan terbesar dalam perjuangan melawan krisis iklim bukan hanya soal teknologi atau pendanaan, tetapi juga komunikasi yang jujur dan inklusif. Dalam diskusi publik di Jakarta, ia menyuarakan kekhawatiran atas politisasi isu iklim dan pengaruh industri bahan bakar fosil dalam menyebarkan disinformasi.

“Saya belum pernah bertemu dengan penyangkal perubahan iklim yang risetnya tidak didanai, gajinya tidak dibayar, atau poin pembicaraannya tidak didukung oleh industri bahan bakar fosil,” ujar Kyte dalam acara Shaping Tomorrow: Intergenerational Action Towards A Low-Carbon and Green Economy, Kamis (8/5/2025).

Baca Juga

Kyte, yang telah menjadi aktivis iklim sejak muda, menyatakan bahwa kelompok-kelompok yang menyangkal krisis iklim biasanya berasal dari pihak-pihak yang merasa kepentingan ekonominya terancam oleh perubahan menuju dunia yang lebih bersih dan adil.

Ia juga menyoroti bagaimana istilah net zero kini menjadi label “beracun” di Inggris akibat narasi politik yang menyimpang dari substansi ilmiah. Namun di balik polarisasi itu, Kyte menegaskan bahwa masyarakat tetap menginginkan masa depan yang aman, bersih, dan layak huni.

“Orang-orang menginginkan dunia net zero karena mereka menginginkan udara bersih, air bersih, dan komunitas yang aman,” katanya.

Menurut Kyte, solusi energi bersih tak hanya soal menurunkan emisi, tetapi juga membuka akses listrik yang terjangkau melalui energi terbarukan di dalam negeri maupun dari negara-negara mitra. Ia mengajak para pembuat kebijakan untuk membayangkan masa depan tanpa polusi suara generator, udara yang sehat untuk anak-anak, serta kota yang ramah mobilitas.

“Jika pembuat kebijakan bisa membayangkan itu, akan lebih mudah bagi mereka untuk mengelola jalur menuju masa depan tersebut,” ujarnya.

Ia juga mencatat bahwa sektor ekonomi hijau di Inggris saat ini tumbuh sepuluh kali lebih cepat dibandingkan ekonomi berbasis fosil. Sejak Juli tahun lalu, negara itu telah menarik investasi hampir 50 miliar poundsterling untuk teknologi penangkapan karbon, energi hijau, serta sistem digital pendukung transisi energi.

Namun, Kyte mengakui masih banyak hambatan yang harus dihadapi. Di antaranya adalah menyederhanakan proses bisnis bagi wirausaha hijau, memperkuat daya tarik investasi dari negara seperti Indonesia dan Singapura, serta menjembatani riset kampus dengan kebutuhan pasar dan pendanaan.

Ia mengingatkan pentingnya perencanaan ketahanan iklim, terutama bagi negara kepulauan seperti Inggris dan Indonesia yang rawan terdampak banjir, kenaikan muka laut, dan gelombang panas. “Ini bukan jalan yang mudah, terutama dalam ekonomi yang masih dipenuhi subsidi bahan bakar fosil dan praktik makanan yang merusak lingkungan,” tegas Kyte.

Meski demikian, ia tetap optimistis bahwa mayoritas negara dan pemimpin global memiliki komitmen untuk perubahan. Ia pun mendorong kolaborasi internasional dalam berbagai forum, termasuk G20, untuk mempercepat aksi iklim dengan melibatkan generasi muda.

“Semakin banyak kami mendengarkan generasi muda, semakin baik kami dalam bergerak maju,” katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement