Sabtu 14 Jun 2025 21:32 WIB

Hermes hingga Nike Abaikan Hak Pekerja saat Transisi Hijau

Transisi hijau tanpa melibatkan pekerja dinilai berisiko dan memperparah ketimpangan.

Rep: Lintar Satria/ Red: Gita Amanda
Jenama fesyen seperti Hermes, Nike, dan H&M diduga mengabaikan hak pekerja dalam proses transisi menuju ekonomi rendah karbon. (ilustrasi)
Foto: Wikimedia
Jenama fesyen seperti Hermes, Nike, dan H&M diduga mengabaikan hak pekerja dalam proses transisi menuju ekonomi rendah karbon. (ilustrasi)

ESGNOW.ID,  LONDON -- Jenama fesyen seperti Hermes, Nike, dan H&M diduga mengabaikan hak pekerja dalam proses transisi menuju ekonomi rendah karbon. Dalam laporan berjudul The Missing Thread, Business & Human Rights Resource Centre (BHRRC) menganalisis 65 merek dari perusahaan-perusahaan mode global.

Dari 65 merek tersebut, 44 di antaranya telah berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon. Namun, tidak satu pun yang mengadopsi kebijakan Just Transition.

Baca Juga

Kebijakan Just Transition merupakan konsep yang diperkenalkan dalam Pertemuan Perubahan Iklim PBB (COP27) di Mesir tahun 2022. Tujuannya adalah untuk memastikan pekerja tidak terdampak secara negatif saat industri beralih ke ekonomi rendah karbon.

Selain itu, hanya 11 perusahaan yang mengakui dampak perubahan iklim terhadap pekerja dalam kebijakan sosial dan hak asasi manusia mereka. Hanya empat perusahaan yang menyediakan panduan terkait pengelolaan stres akibat panas.

Laporan tersebut mencatat hanya dua perusahaan yang menunjukkan ambisi paling tinggi dalam memperhatikan kesejahteraan pekerja, yaitu Inditex (pemilik Zara) dan Kering (induk perusahaan Gucci).

Manajer Program Hak Pekerja di BHRRC, Natalie Swan, menegaskan bahwa dekarbonisasi tanpa melibatkan pekerja sebagai mitra kritis dan kreatif bukanlah transisi yang adil, melainkan jalan pintas yang berbahaya.

Saat ini, industri tekstil global bergantung pada 98 juta ton sumber daya tak terbarukan per tahun, seperti minyak dan pupuk. Jika tren ini terus berlanjut, industri fesyen diperkirakan akan menyumbang lebih dari 25 persen emisi gas rumah kaca global pada tahun 2050.

“Target iklim industri fesyen tidak banyak berarti bila orang-orang yang membuat produknya tidak dipertimbangkan. Tidak cukup hanya sekadar ramah lingkungan, tetapi juga harus bersih dan adil,” ujar Swan seperti dikutip dari Aljazirah, Sabtu (14/6/2025).

Swan menegaskan bahwa perusahaan-perusahaan jenama fesyen harus berhenti berlindung di balik slogan hijau (greenwashing) dan mulai berinteraksi secara serius dengan para pekerja serta serikat pekerja mereka. Hak, mata pencaharian, dan keselamatan pekerja terancam baik oleh perubahan iklim maupun oleh respons industri terhadapnya.

“Transisi yang adil bukan hanya tanggung jawab, tetapi juga peluang penting untuk membangun industri fesyen yang lebih adil dan tangguh, yang bermanfaat bagi manusia dan planet,” kata Swan.

Beberapa perusahaan seperti Nike, Hermes, H&M, Inditex, dan Kering belum memberikan tanggapan atas permintaan komentar.

Dampak perubahan iklim sudah sangat terasa di Asia Tenggara. Pekerja garmen di negara-negara seperti Bangladesh, Kamboja, Indonesia, dan Vietnam mengalami berbagai cuaca ekstrem, mulai dari lonjakan suhu udara hingga banjir bandang.

Di Bangladesh, pekerja dilaporkan pingsan akibat penyakit terkait panas karena pabrik tidak menyediakan kipas angin atau air minum yang memadai. Kondisi serupa juga terjadi di Kamboja, dengan suhu yang kerap melebihi 39 derajat Celsius saat gelombang panas tahun 2022.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement