Jumat 25 Jul 2025 17:52 WIB

WWF: Perjanjian Paris Kehilangan Daya Transformasi Jelang COP30

Kurangnya aksi nyata dan tekanan geopolitik jadi ganjalan komitmen iklim dunia.

Rep: Lintar Satria/ Red: Gita Amanda
Menjelang Pertemuan Perubahan Iklim PBB (COP30) di Brasil pada November mendatang, seruan tentang belum memadainya upaya global mengatasi pemanasan global semakin menguat. (ilustrasi)
Foto: Cop30
Menjelang Pertemuan Perubahan Iklim PBB (COP30) di Brasil pada November mendatang, seruan tentang belum memadainya upaya global mengatasi pemanasan global semakin menguat. (ilustrasi)

ESGNOW.ID,  ANKARA -- Perjanjian Paris yang pernah menjadi simbol persatuan global kini semakin kehilangan maknanya. Kekuatan transformatif kesepakatan itu diperkirakan kian memudar jika para pemimpin dunia terus menunda pelaksanaannya. Menjelang Pertemuan Perubahan Iklim PBB (COP30) di Brasil pada November mendatang, seruan tentang belum memadainya upaya global mengatasi pemanasan global semakin menguat. Sementara itu, dampak perubahan iklim makin nyata terasa.

Dalam Perjanjian Paris, negara-negara wajib secara rutin menyerahkan rencana dan target pemangkasan emisi gas rumah kaca yang ditetapkan sendiri (Nationally Determined Contributions/NDC) ke PBB. Namun, hingga menjelang COP30, hanya sekitar 20 dari 198 negara yang telah menyerahkannya.

Baca Juga

“Perjanjian Paris memiliki makna politik yang besar dan merupakan simbol persatuan global yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam menghadapi perubahan iklim,” kata Ketua Tim Iklim dan Energi Global WWF, Manuel Pulgar-Vidal, seperti dikutip dari Anadolu Agency, Jumat (25/7/2025).

Pulgar-Vidal mengatakan, meskipun tidak semua negara mencapai target mereka, perjanjian itu telah membantu membentuk undang-undang, kebijakan, dan ekspektasi publik. “Namun, kini tidak diragukan lagi perjanjian itu dalam tekanan,” tambahnya.

Ia mencatat tekanan tersebut berasal dari kesenjangan antara ambisi dan pelaksanaannya, terutama dari negara-negara yang paling bertanggung jawab atas perubahan iklim dan memiliki kapasitas untuk memimpin.

“Sebelum Perjanjian Paris, ilmuwan memprediksi pemanasan global dapat mencapai 3,5 derajat Celsius dibandingkan masa praindustri pada 2100. Namun, jika negara-negara menjalankan semua komitmennya, kemungkinan hanya akan mencapai 2,1 derajat Celsius,” ujar Pulgar-Vidal.

Hal ini, lanjutnya, menunjukkan kemajuan signifikan serta keberhasilan aksi yang terkoordinasi, meskipun masih banyak pekerjaan rumah yang tersisa. Ia menyebutkan bahwa dalam beberapa dekade terakhir, trayektori iklim telah berubah secara signifikan. Kini, ekonomi, ilmu pengetahuan, dan desakan sosial terus mendorong proses itu.

“Kita harus mempertahankan fokus kita, tidak boleh terdistraksi, dan aksi iklim harus tetap menjadi prioritas agenda politik,” tegasnya.

Pulgar-Vidal menjelaskan bahwa penundaan pelaksanaan komitmen-komitmen Perjanjian Paris bukan karena ketidaksengajaan. Ia menyoroti gejolak geopolitik, tekanan ekonomi, serta kesenjangan yang terus-menerus dan melebar antara janji dan implementasi pendanaan iklim sebagai tantangan sistemik yang membebani aksi bermakna.

Ia juga menambahkan bahwa lemahnya kemauan politik untuk memenuhi komitmen iklim dan mengimplementasikan aksi nyata, seperti penghentian penggunaan bahan bakar fosil, turut menjadi kendala dalam pelaksanaan Perjanjian Paris.

“Banyak negara berkembang ingin melaksanakan aksi yang ambisius, tapi mereka membutuhkan dukungan konkret untuk melakukannya,” kata Pulgar-Vidal.

Ia memperingatkan komunitas internasional untuk tidak meremehkan kekuatan masyarakat dalam mengubah trayektori iklim, terutama pada bulan-bulan krusial menjelang COP30. “Mulai dari gelombang panas mematikan, kebakaran hutan dan lahan, hingga banjir, krisis iklim berdampak negatif pada masyarakat dan alam di seluruh dunia,” katanya.

Pulgar-Vidal mengatakan masyarakat harus terus mendesak aksi nyata dalam perubahan iklim dan perlindungan alam. “WWF bersama lembaga nonpemerintah lainnya yang berfokus pada isu lingkungan bertindak untuk meminta pertanggungjawaban pemerintah, sekaligus membantu mengidentifikasi solusi,” ujarnya.

Mengutip laporan terbaru WWF tentang keterlibatan di COP30 dan sesudahnya, Pulgar-Vidal menyatakan bahwa partisipasi masyarakat sipil di COP “harus jauh melampaui kehadiran simbolis". “Hal ini memerlukan keterlibatan yang aktif, inklusif, dan berpengaruh dalam negosiasi serta pengambilan keputusan,” tegasnya.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by ESG Now (@esg.now)

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement