ESGNOW.ID, JAKARTA -- Penelitian menunjukkan enam dari sembilan ambang batas yang mengatur kesehatan bumi telah terlampaui. Sifat saling terkait dari batas-batas ini membuat kerusakan pada satu aspek bisa merusak stabilitas lainnya, memicu reaksi berantai degradasi lingkungan.
Sembilan batas tersebut antara lain: keanekaragaman hayati, perubahan sistem lahan, polusi kimia, dan pengasaman lautan. Saat ini, bumi berada di ambang melanggar batas ketujuh, yakni stabilitas lautan.
Menanggapi situasi ini, para pemimpin gerakan lingkungan yang tergabung dalam Planetary Guardians mengajak Indonesia untuk mengambil tindakan nyata dalam mengatasi krisis-krisis yang timbul akibat pelanggaran batas-batas kesehatan planet. Mereka menyerukan kolaborasi antara pemerintah, sektor bisnis, masyarakat sipil, dan komunitas masyarakat adat.
Anggota Planetary Guardians dan pakar adaptasi masyarakat adat terhadap perubahan iklim, Hindou Oumarou Ibrahim, menyebut Indonesia sebagai "kekuatan super planet" (planetary superpower) karena peran strategisnya dalam menjaga ekosistem global, sejajar dengan wilayah Amazon dan Kongo.
“Tanah ini tidak hanya penting bagi Indonesia, tetapi juga bagi seluruh dunia. Itulah mengapa kami menyebut Indonesia sebagai kekuatan super planet, bersama dengan ekosistem lain seperti Kongo dan Amazon,” kata Ibrahim dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (29/7/2025).
Ibrahim, yang berasal dari komunitas adat di Chad, menekankan krisis iklim berdampak luas, termasuk di negaranya. Tahun lalu, banjir besar saat musim hujan membuat dua juta orang kehilangan tempat tinggal dalam semalam. “Bayangkan kerawanan pangan, penyakit, dan masalah sosial-lingkungan yang muncul. Ini bukan hanya isu lokal, melainkan masalah planet,” ujarnya.
Kunjungan Planetary Guardians ke Indonesia bertujuan mempercepat solusi berbasis sains dan pengetahuan tradisional. Ibrahim menyerukan kolaborasi global, termasuk penunjukan chief planetary scientist di tiap negara, untuk mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu, dari pertanian hingga kelautan, serta melibatkan kelompok rentan seperti perempuan dan pemuda.
“Kami juga ingin memadukan sains modern dengan kearifan lokal masyarakat adat. Di komunitas saya, kami memprediksi cuaca dengan mengamati awan, migrasi hewan, dan tumbuhan, pengetahuan yang telah teruji ribuan tahun,” jelasnya.
Ibrahim berharap pertemuan ini dapat memperkuat aksi iklim di Indonesia, yang menjadi salah satu paru-paru dunia. Kunjungannya ke Amazon, Kongo, dan kini Indonesia, disebutnya sebagai upaya menyatukan bukti ilmiah dan suara masyarakat adat untuk didengar secara global.
Sementara itu, anggota Planetary Guardians asal Indonesia sekaligus Ketua Dewan Forest, Nature and Environment Aceh Foundation (Yayasan HAkA), Farwiza Farhan, menekankan pentingnya aksi lingkungan dari tingkat lokal sebagai bagian dari solusi krisis planet.
“Kadang kita berpikir isu kesehatan planet hanya berskala global, tapi sesungguhnya isu-isu besar itu punya dampak nyata di tingkat lokal,” ujar Farwiza.
Ia menambahkan, pembelajaran paling bermakna justru datang dari komunitas lokal yang hidup berdampingan dengan alam. Farwiza juga mengajak masyarakat dari berbagai latar belakang untuk tidak merasa terpisah dari peran sebagai penjaga bumi.
Ia mengkritisi pandangan bahwa hanya aktivis atau ilmuwan yang bertugas menjaga lingkungan. “Setiap orang adalah seperti sel dalam tubuh. Kita semua terdampak oleh kondisi planet ini, dan kita semua punya peran untuk menjaganya,” tegas Farwiza. “Menjadi penjaga planet adalah undangan bagi semua orang, dari semua latar kehidupan,” katanya.