Selasa 27 May 2025 15:21 WIB

Emisi Pusat Data Ancam Iklim ASEAN, Energi Hijau Jadi Solusi

ASEAN perlu memperluas akses terhadap energi surya dan angin.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Ilustrasi pusat data.
Foto: pixabay
Ilustrasi pusat data.

ESGNOW.ID,  JAKARTA — Ledakan kebutuhan digital di Asia Tenggara mendorong lonjakan konsumsi listrik dari pusat data, namun laporan terbaru lembaga think tank Ember menunjukkan kawasan ini masih memiliki peluang besar untuk mendorong transisi energi bersih. Dengan kebijakan yang tepat, 30 persen kebutuhan listrik pusat data di ASEAN dapat dipenuhi dari energi surya dan angin pada 2030, tanpa perlu baterai.

Laporan berjudul “From AI to emissions: Aligning ASEAN’s digital growth with energy transition goals” mengungkapkan, pusat data menjadi pendorong baru permintaan listrik di kawasan. Indonesia saat ini menempati peringkat kedua pertumbuhan kebutuhan listrik tertinggi di ASEAN, hanya kalah dari Malaysia.

Baca Juga

Namun, Ember menyoroti tingginya ketergantungan kawasan terhadap batu bara dan gas sebagai sumber energi, yang membuat emisi karbon dari sektor pusat data melonjak tajam. Di wilayah Jawa-Madura-Bali (Jamali), misalnya, emisi diproyeksikan meningkat hampir empat kali lipat dari 5 juta ton CO2e menjadi 19 juta ton CO2e pada akhir dekade ini.

Malaysia sebagai pemimpin pertumbuhan pusat data ASEAN diperkirakan mengalami lonjakan konsumsi listrik dari 8,5 TWh menjadi 68 TWh, dengan emisi melonjak tujuh kali lipat. Sementara Filipina, dengan sistem kelistrikan Luzon-Visayas, diproyeksikan mengalami lonjakan konsumsi listrik hingga 20 TWh, naik dari hanya 1,1 TWh saat ini.

“Pertumbuhan pusat data membebani sistem kelistrikan di ASEAN, di mana sebagian besar listrik dari batu bara dan gas,” kata Head of Data Centre Research & Insights Asia Pacific Cushman & Wakefield, Pritesh Swamy, dalam pernyataan Ember, Selasa (27/5/2025).

Swamy menegaskan perlunya modernisasi infrastruktur energi dan kolaborasi lintas negara untuk memastikan ekspansi digital tidak menghambat pencapaian target iklim. Ember menilai energi surya dan angin tetap menjadi solusi utama.

“Tanpa tindakan mendesak, pesatnya pertumbuhan industri pusat data ASEAN berisiko menggagalkan target transisi energi,” kata Analis Kebijakan Kelistrikan Asia Tenggara Ember, Shabrina Nadhila.

Ia menegaskan ASEAN perlu memperluas akses terhadap energi surya dan angin melalui kebijakan proaktif, efisiensi energi, dan kerangka regulasi nasional pusat data yang mendukung. “Pusat data bisa mendukung pertumbuhan digital berkelanjutan jika dirancang dengan efisiensi energi sejak awal dan didukung skema akses listrik hijau,” ujar Shabrina.

Menurut Ember, banyak perusahaan teknologi besar kini mengandalkan power purchase agreement (PPA) untuk mendapat suplai energi bersih. Namun, fleksibilitas akses seperti virtual PPA dan tarif hijau belum merata di seluruh ASEAN. Di Indonesia, tarif hijau belum tersedia seperti di Malaysia, Singapura, Thailand, dan Filipina.

Selain itu, skema power wheeling yang memungkinkan perusahaan membeli listrik langsung dari pembangkit energi terbarukan masih dalam pembahasan di RUU Energi Baru dan Terbarukan. Ember juga mendorong pemerintah menetapkan pedoman efisiensi energi nasional untuk pusat data.

“Kerangka kerja nasional, kolaborasi yang lebih kuat, dan transparansi yang lebih baik, sangat penting untuk memastikan pertumbuhan digital ASEAN mendorong kemajuan,” kata Shabrina.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement