Invasi Israel sebabkan ekosida

Bertolak belakang dengan dampak tidak sengaja dari invasi Genghis Khan yang memicu reboisasi, invasi Israel ke Palestina justru menyebabkan kerusakan lingkungan yang disengaja. Fenomena ini disebut ekosida atau ecocide.
Dikutip dari New Arab, penelitian Forensic Architecture menemukan bahwa pasukan Israel sengaja menghancurkan lingkungan Gaza. “Lingkungan bukan hanya korban tidak langsung, tapi memang menjadi target pasukan Israel,” kata salah satu penulis laporan Forensic Architecture, Lucia Rebolino, kepada New Arab.
Rebolino menyebutkan bahwa berdasarkan data citra satelit, militer Israel menggunakan buldoser untuk meratakan ladang dan kebun di zona buffer lebih dari 300 meter dari perbatasan utara Israel dan Gaza. Hal itu dilakukan untuk membangun gundukan tanah dan tanggul demi melindungi tank serta memperluas pandangan.
Data studi menunjukkan, 40 persen dari 170 kilometer persegi lahan pertanian Gaza sebelum perang telah hancur. Sebanyak 2.000 bangunan pertanian juga diratakan, termasuk 90 persen rumah kaca di distrik utara Gaza.
Dengan menghancurkan ladang pertanian, Israel menyerang bagian penting dari ekonomi dan ekosistem Gaza. Studi gabungan PBB, Bank Dunia, dan Uni Eropa memperkirakan kerugian akibat kerusakan di sektor pertanian mencapai 629 juta dolar AS. Jika ditambah dengan kerusakan pada area alami, infrastruktur pengolahan limbah, dan reruntuhan, total kerugian melampaui 1,5 miliar dolar AS. Angka tersebut belum termasuk biaya restorasi lingkungan dan rekonstruksi.
Menurut Rebolino, militer Israel secara rutin menjatuhkan herbisida dari pesawat pada lahan pertanian di sekitar perbatasan, terutama saat musim panen antara 2014 hingga 2019. Mereka memanfaatkan angin untuk menjangkau area seluas mungkin. Tindakan ini disebut sebagai “perang herbisida” yang memaksa banyak petani meninggalkan tanah mereka.
Di bagian selatan Gaza, investigasi kelompok media Bellingcat menyebut militer Israel telah meratakan 1.740 hektare lahan untuk membangun jalan baru yang dikenal sebagai Route 749 atau “Netzarim Corridor”. Jalur ini digunakan untuk mengangkut pasukan dan memisahkan bagian utara Gaza dari selatan.
Pada Februari lalu, artikel Yale Environment 360 melaporkan bahwa citra satelit Januari menunjukkan 80 persen pohon di Gaza telah hilang. Selain itu, lahan basah vital, bukit pasir, perairan pesisir, dan sungai utama satu-satunya, Wadi Gaza, mengalami kerusakan parah.
Program Lingkungan PBB (UNEP) memperingatkan bahwa penebangan pohon, semak, dan tanaman telah merusak tanah di wilayah yang dahulu subur, kaya keanekaragaman hayati, dan memiliki pasokan air cukup. Kini, wilayah tersebut menghadapi risiko penggurunan jangka panjang.
Gaza membentang sepanjang 24 mil di pesisir timur Laut Mediterania. Penelitian Abdel Fattah Abd Rabou dari Universitas Islam Gaza menyebut wilayah kecil ini merupakan kawasan penting keanekaragaman hayati tempat bertemunya satwa liar dari Eropa, Timur Tengah, dan Afrika.
Wilayah ini tercatat memiliki lebih dari 250 spesies burung dan 100 spesies mamalia, mulai dari kucing liar dan serigala hingga musang dan tikus tanah. Baik satwa liar maupun manusia bergantung pada cadangan air tanah yang melimpah.
“Sumur pasir dangkal menyediakan pasokan air tawar yang melimpah,” ujar Direktur Jenderal Geneva Water Hub, Mark Zeitoun, yang mengadvokasi perdamaian melalui diplomasi air.
Air ini, yang ditutupi tanah subur, menjadi alasan mengapa banyak warga Palestina mengungsi ke Gaza setelah diusir dari rumah mereka pascapembentukan negara Israel pada 1948.