Ia juga menyoroti praktik korupsi yang menjamur di sektor sumber daya alam—seperti jual beli izin tambang—yang justru mempercepat kehancuran lingkungan. “Ini bukan cuma soal cuaca ekstrem atau suhu naik. Ini soal siapa yang pegang kuasa, dan mereka pilih bangun masa depan atau rusak semuanya demi cuan," katanya.
Sayangnya, menurut Neildeva, anak muda masih terjebak dalam tokenisme atau hanya dijadikan pemanis di forum-forum—hadir tapi nggak dianggap. “Anak muda perlu lebih dari sekadar undangan. Kita harus dilibatkan penuh dalam proses pengambilan keputusan, apalagi soal isu sebesar krisis iklim dan transisi energi. Ini masa depan kita yang dipertaruhkan," tambahnya.
Peneliti Indonesia Center Environmental Law, Sylvi Sabrina mengatakan hal yang serupa. Ia menyoroti urgensi Rancangan Undang-Undang Keadilan Iklim guna mengarusutamakan prinsip keadilan maupun keadilan iklim antargenerasi untuk memastikan suara kelompok rentan dalam kebijakan iklim.
“Keadilan iklim adalah soal menjamin hak setiap orang, terutama mereka yang selama ini paling terdampak, untuk hidup layak, sehat, dan aman di tengah krisis iklim. Transisi energi tidak boleh menambah ketimpangan baru. Justru harus menjadi momentum untuk memperbaiki relasi kuasa dan akses terhadap sumber daya.” jelasnya.
Program Officer LCOY 2025 Pinkan Astina Hermawan, mengatakan diskusi ini menekankan transisi energi berkeadilan bukan sekadar soal teknologi atau investasi, melainkan juga soal keadilan sosial dan hak asasi manusia. "Orang muda sebagai subjek terdampak perlu menjadi aktor sentral dalam aksi iklim dan transisi energi," katanya.