ESGNOW.ID, JAKARTA -- Komitmen Indonesia dalam transisi energi untuk menurunkan target emisi kembali menjadi sorotan global menjelang Konferensi Perubahan Iklim COP30 di Brasil. Dua jurnalis lingkungan dari Bloomberg, Sheryl Lee dan Ishika Mookerje, secara terbuka mengkritisi lambatnya langkah Indonesia dalam meninggalkan energi fosil dan mengadopsi sistem energi bersih yang lebih ambisius.
Menurut Sheryl Lee, APAC ESG Reporter Bloomberg, penyusunan Second Nationally Determined Contribution (Second NDC) Indonesia justru menunjukkan kemunduran, karena pemerintah memilih menggunakan Current Policy Scenario (CPOS) sebagai dasar perhitungan penurunan emisi ke depan.
“Alih-alih memperkuat ambisi, Indonesia menetapkan tahun 2019—saat emisi sedang tinggi—sebagai baseline. Ini membuat penurunan emisi terlihat besar secara angka, tapi bukan transformasi struktural yang nyata,” ujar Sheryl dalam forum Bloomberg Green: Path to COP30.
Sebagai perbandingan, laporan Biennial Update Report (BUR) ke-3 mencatat emisi Indonesia pada 2019 mencapai 1,84 miliar ton CO₂ ekuivalen, naik tajam dari 1,45 miliar ton pada 2016. Dari jumlah itu, sektor energi menyumbang 34,49 persen, terutama dari pembangkitan listrik berbasis batu bara dan transportasi darat berbahan bakar fosil.
Namun alih-alih berfokus pada dekarbonisasi sektor energi dan transportasi, pemerintah justru menumpukan target penurunan emisi pada sektor kehutanan (FOLU), dengan target penyerapan karbon sebesar 140 juta ton CO₂ ekuivalen pada 2030.
“Indonesia masih memprioritaskan FOLU padahal sektor energi adalah sumber emisi terbesar kedua. Ini berisiko menciptakan rantai pasok kendaraan listrik yang justru berbasis PLTU,” tambah Sheryl, merujuk pada proyek-proyek hilirisasi nikel yang masih menggunakan listrik dari batubara.
Senada dengan Sheryl, Ishika Mookerje, Asia ESG and Climate Reporter Bloomberg, juga menilai bahwa Indonesia tertinggal dari sejumlah negara ASEAN lainnya dalam hal kejelasan arah dan eksekusi transisi energi.
“Vietnam dan Filipina sudah mulai mengurangi ketergantungan pada PLTU, bahkan menarik pendanaan iklim global berkat kebijakan mereka yang progresif. Sementara Indonesia masih terlalu bergantung pada energi kotor untuk proyek strategis nasional,” ujar Ishika.
Ishika mencatat bahwa Vietnam telah menandatangani Just Energy Transition Partnership (JETP) lebih awal, dan kini mempercepat pengembangan PLTS dan PLTB. Filipina menetapkan moratorium PLTU sejak 2020 dan aktif mendorong investasi energi surya. Thailand bahkan sudah memiliki peta jalan dekarbonisasi sektor industri dan elektrifikasi kendaraan secara nasional.
Sementara itu, Singapura, meski tidak memiliki potensi energi terbarukan sebesar negara lain, justru menjadi pemimpin dalam hal regulasi pasar karbon, efisiensi energi, dan skema insentif hijau.
“Singapura tidak banyak bicara soal target emisi, tapi mereka jelas soal aksi. Pasar karbonnya aktif, perusahaan diberi insentif untuk efisiensi, dan semua ada mekanisme pengawasan. Itu yang belum terlihat di Indonesia,” kata Ishika.
Pemerintah Indonesia menargetkan dokumen final Second NDC akan diserahkan ke UNFCCC sebelum 22 September 2025. Namun, pengamat menilai bahwa NDC kali ini menjadi ujian serius bagi Indonesia—bukan hanya untuk memenuhi target global, tetapi juga untuk menunjukkan kepemimpinan kawasan dalam menghadapi krisis iklim.
“Indonesia adalah ekonomi terbesar di Asia Tenggara. Kalau Indonesia tidak ambil peran dalam transisi energi, akan sulit bagi kawasan ini mencapai target iklim Paris Agreement,” tegas Ishika.
Sheryl menambahkan, upaya transisi energi tidak cukup hanya dengan menyampaikan target pengurangan emisi. “Yang dibutuhkan adalah komitmen nyata untuk mengubah bauran energi, mempercepat elektrifikasi transportasi, dan meninggalkan ketergantungan pada PLTU,” ujarnya.