ESGNOW.ID, JAKARTA -- Upaya Indonesia meningkatkan bauran energi baru terbarukan (EBT) masih menghadapi tantangan berat, utamanya dari sisi biaya produksi dan ketertinggalan infrastruktur.
Laporan IRENA (International Renewable Energy Agency) menunjukan tertinggalnya Indonesia dalam mengejar target bauran energi utamanya dari sisi biaya produksi dan ketertinggalan infrastruktur. Data terbaru menunjukkan realisasi bauran EBT Indonesia hingga akhir 2024 baru mencapai kisaran 14,1 persen hingga 14,7 persen, jauh di bawah target nasional sebesar 23 persen pada 2025.
Disatu sisi, Presiden RI Prabowo Subianto, dalam pidatonya pada acara peresmian proyek energi terbarukan nasional pada Jumat, 21 Juni 2025, menyampaikan optimisme bahwa Indonesia memiliki potensi besar dalam mengembangkan energi bersih dan menuju swasembada energi nasional.
“Kita diberkahi sinar matahari, panas bumi, angin, air. Semua ada di negeri ini. Kita hanya perlu kemauan dan keberanian untuk mengelolanya,” ujar Prabowo dalam kunjungannya ke proyek PLTP Gunung Tiga dan PLTS di 15 provinsi.
Lebih lanjut, Presiden menargetkan bahwa Indonesia dapat mencapai swasembada energi dalam waktu 5 hingga 6 tahun ke depan, dan menyiapkan pembangunan pembangkit berbasis energi baru terbarukan (EBT) hingga 75 gigawatt (GW) dalam 15 tahun mendatang. Target ini mencakup PLTS, PLTA, panas bumi, dan bahkan modular nuclear reactors sebagai bagian dari strategi Net Zero Emissions sebelum 2050.
Namun, pengembangan ini terganjal Harga jual dan nilai investasi yang besar. Menurut laporan terbaru IRENA (International Renewable Energy Agency) bertajuk Renewable Power Generation Costs in 2024, biaya pokok pembangkitan (LCOE) untuk PLTS di Indonesia pada 2023 berada di angka 0,091 dolar AS per kWh, sedangkan secara global telah turun ke angka 0,049 dolar AS per kWh. Teknologi lain seperti pembangkit angin darat (PLTB) dan bioenergi juga memiliki LCOE di Indonesia yang lebih tinggi dibanding rerata global (0,104 dolar AS per kWh vs 0,038 dolar AS per kWh untuk PLTB).
"Disparitas ini disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain biaya modal (CAPEX) yang tinggi, suku bunga lokal yang mahal, serta ketergantungan pada komponen impor karena industri dalam negeri belum mampu memasok teknologi dan material secara kompetitif," tulis laporan IRENA.
Realisasi ini juga berkejaran dengan deadline Indonesia wajib menyerahkan refresh NDC (Nationally Determined Contribution) — dikenal sebagai NDC 3.0 — paling lambat 22 September 2025. Ini merupakan bagian dari siklus lima tahunan Paris Agreement setelah global stocktake pertama, yang menuntut negara-negara meningkatkan ambisi iklim tiap negara.