ESGNOW.ID, JAKARTA -- Sampah menjadi masalah lingkungan yang masih belum bisa terselesaikan. Bahkan, saat ini beberapa daerah di Indoensia seperti Bandung dan Yogyakarta sedang mengalami darurat sampah.
Direktur Utama PT Maggot Indonesia Lestari, Markus Susanto, mengamini bahwa masalah sampah di Indonesia memang sangat kompleks. Namun, dengan teknologi biokonversi maggot, sampah dapat dimanfaatkan membangun ketahanan pangan nasional.
Biokonversi merupakan perombakan sampah organik menjadi sumber energi metan melalui proses fermentasi yang melibatkan organisme metan. Adapun biokonversi maggot dilakukan melalui proses alamiah yang menggunakan maggot atau belatung sebagai agen untuk membiokonversi sampah yang outputnya adalah maggot itu sendiri, sebagai sumber protein pakan ternak.
"Kita harus ubah minsdet untuk tidak membuang sampah ke TPA. Kita manfaatkan sampah organik kita ubah menjadi sumber potensi bahan baku untuk membangun ketahanan pangan nasional," kata Markus dalam panel diskusi di Festival LIKE, dikutip Rabu (20/9/2023).
Berdasarkan data KLHK pada tahun 2021, diperkirakan ada 65 juta ton sampah yang telah dihasilkan nasional. Rata-rata 60 persen dari sampah tersebut bersifat organik, baru 7 persen direcycle, sisanya masih dilakukan 'Kumpul, Angkut, dan Buang' ke TPA.
Melihat besarnya potensi sampah organik, Markus mendorong pemerintah baik pusat maupun daerah untuk menggalakkan pilah sampah secara sistematis. Dengan begitu, sampah organik akan lebih mudah untuk dikelola dan tidak berakhir di TPA.
"Di beberapa daerah sudah dilaksanakan tapi ini masih skala komunitas. Kalau ini sudah skala besar, maka ini bisa menjadi bahan komiditi yang bisa diekspor," kata Markus.
Ia menjelaskan bahwa biokonversi maggot memiliki nilai ekonomi yang sangat besar. Misalnya, sampah yang dihasilkan di area Jakarta ada 7000 ton per hari, dan diperkirakan 4200 ton-nya merupakan organik. Jika 10 persen (420 ton) dari sampah organik tersebut dijadikan pakan maggot, maka bisa menghasilkan Rp 120 miliar per tahun.
Selain nilai ekonomi, biokonversi maggot juga menghasilkan jejak karbon yang lebih rendah. Karenanya, jelas Markus, pengelolaan sampah dengan metode ini dapat mendukung misi pemerintah untuk menekan emisi karbon.
"Lahan yang digunakan serta jejak karbon yang dilakukan oleh biokonveksi jauh lebih kecil dibandingkan dengan peternakan atau perkebunan yang lain. Misal kalu sawit untuk CPO 50 ton itu membutuhkan 17 juta hektar, tapi kalau di magot ini gak perlu sebesar itu," kata Markus.