ESGNOW.ID, JAKARTA -- Semua orang pasti sepakat bahwa untuk mengatasi pemanasan global, sesegera mungkin dunia harus beralih dari bahan bakar fosil. Pasalnya, berbagai proses pembakaran itu mengeluarkan emisi karbon, salah satu kontributor perubahan iklim.
Hal yang rumit adalah penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, mengingat bahan bakar fosil digunakan untuk berbagai kebutuhan. Sebagai salah satu upaya menuju ke sana, para ekonom telah memperkenalkan konsep penetapan harga karbon di Eropa pada 2005.
Dikutip dari laman Economist, Senin (2/10/2023), harga karbon merupakan biaya yang telah ditetapkan untuk polusi karbon. Tujuannya, mendorong pihak yang mencemari ligkungan untuk mengurangi jumlah gas efek rumah kaca yang mereka hasilkan ke atmosfer.
Namun, banyak pihak, termasuk Amerika Serikat, khawatir skema semacam itu menimbulkan dampak buruk berupa peningkatan biaya konsumen. Di negara-negara lain, konsep harga karbon juga sudah menyebar, termasuk Indonesia yang dikenal sebagai negara penghasil polusi terbesar kesembilan di dunia.
Indonesia terdata melepaskan setara 620 juta ton setara karbon dioksida setiap tahunnya, dan hampir separuh peningkatan konsumsi energinya berasal dari batu bara. Namun, Indonesia juga mempunyai ambisi yang ramah lingkungan.
Pada 26 September 2023, Presiden Republik Indonesia Joko Widodo membahas prospek pasar karbon sebagai pusat perdagangan karbon. Februari 2023, Indonesia juga memperkenalkan skema perdagangan emisi lokal, yang mengharuskan pembangkit listrik tenaga batubara besar untuk membeli izin emisi di atas ambang batas.
Singkatnya, bahkan di negara-negara yang lebih dikenal sebagai negara yang menghasilkan polusi dibandingkan negara yang ramah lingkungan, banyak hal telah berubah. Semakin banyak negara yang mulai memanfaatkan penetapan harga karbon.
Penyebaran harga karbon terjadi melalui tiga cara. Pertama, pemerintah menciptakan pasar dan retribusi baru. Indonesia kembali menjadi salah satu contohnya. Jika semuanya berjalan sesuai rencana, pasar karbon pada akhirnya akan digabungkan dengan pajak karbon.
Pada April 2023, Jepang meluncurkan pasar nasional sukarela untuk penyeimbangan karbon, yang akan sejalan dengan kebijakan pembatasan dan perdagangan regional yang berlaku di Tokyo. Para peserta, yang menyumbang sekitar 40 persen polusi di negara tersebut, akan diminta untuk mengungkapkan dan menetapkan target emisi.
Seiring berjalannya waktu, skema ini akan menjadi lebih ketat, dengan lelang tunjangan karbon untuk industri energi yang akan dimulai pada 2033. Begitu pula Vietnam yang sedang mengerjakan skema perdagangan emisi yang akan ditetapkan pada 2028, di mana perusahaan-perusahaan dengan emisi di atas ambang batas akan memerlukan skema tersebut.
Cara penyebaran kedua, negara-negara dengan pasar yang lebih mapan sedang meningkatkan kebijakan lingkungan. Pada 24 September 2023, Pusat Strategi Iklim Nasional Cina mengumumkan skema perdagangan emisinya (yang terbesar di dunia), akan beralih dari hanya fokus pada intensitas karbon dari pembangkit listrik tenaga batubara, menjadi fokus pada intensitas dan total emisinya.
Skema itu akan dikaitkan dengan pasar kredit karbon yang tidak aktif, yang memungkinkan pembangkit listrik memenuhi kewajibannya dengan membeli kredit untuk energi terbarukan, menanam hutan, atau memulihkan hutan bakau. Australia, yang menghapuskan harga karbon awal pada 2014, telah mereformasi skema yang dikenal sebagai “mekanisme perlindungan”.
Sejak Juli, fasilitas industri besar Australia yang menyumbang 28 persen emisi negara harus mengurangi emisi sebesar 4,9 persen per tahun dibandingkan angka dasar. Pihak yang gagal harus membeli penggantian kerugian karbon, yang diperdagangkan dengan harga sekitar 20 dolar Australia per ton.
Cara terakhir penyebaran pasar karbon adalah melalui skema lintas batas. Sejauh ini, program Uni Eropa merupakan program yang paling maju. Dalam tahap percontohan, importir aluminium, semen, listrik, pupuk, hidrogen, besi dan baja perlu melaporkan emisi "yang terkandung" (yang dihasilkan melalui produksi dan transportasi).
Kemudian, mulai 2026, importir harus membayar retribusi yang setara dengan selisih antara biaya karbon dari emisi yang terkandung dalam skema UE dan harga karbon yang dibayarkan oleh eksportir di pasar domestik mereka. Izin gratis untuk sektor-sektor juga akan dihapuskan, dan industri perumahan dan transportasi akan dibawa ke pasar.
Banyak dari skema ini memerlukan waktu untuk dapat memberikan dampak. Beberapa skema juga kesulitan untuk membuktikan keberhasilan mengurangi emisi. Namun, program penetapan harga karbon yang terbatas sekalipun masih akan membantu mengubah perilaku, karena alasan sederhana yaitu mendorong pemantauan emisi.