ESGNOW.ID, JAKARTA -- Sebanyak 35 tempat pembuangan akhir (TPA) di Indonesia mengalami kebakaran sepanjang tahun 2023, menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Terjadinya kebakaran TPA ini menunjukkan bahwa pengelolaan sampah di Indonesia masih buruk.
Aprilia Harera, Solid Waste Management Consultant Waste4Change, mengatakan bahwa pengelolaan sampah di Indonesia masih perlu ditingkatkan. Salah satu hal utama yang harus diperhatikan dalam pengelolaan adalah segregasi sampah.
“Saat ini, 69 persen sampah di Indonesia masih berakhir di TPA dan tidak terolah dengan efektif. Selain itu, tingkat segregasi sampah di Indonesia masih rendah,” kata Aprilia saat dihubungi Republika.co.id, dikutip Senin (13/11/2023).
Sejatinya, kata dia, TPA jangan hanya dijadikan tempat menimbun saja, tapi juga memastikan sampah residu yang sulit didaur ulang bisa diproses dan dikembalikan ke alam, tanpa menimbulkan risiko terhadap lingkungan. Mengingat, produksi gas metana dari sampah residu sangat reaktif terhadap api.
Menurut Aprilia, tingginya produksi gas metana akibat kurangnya pemilahan yang menyebabkan TPA terbakar hanyalah puncak gunung es dari masalah lainnya yang mendukung hal tersebut terjadi. Faktor-faktor lainnya mencakup kurangnya partisipasi masyarakat untuk mengurangi sampah residu dan memilah sampah dari sumber, masih butuhnya penegasan penerapan peraturan terkait pengelolaan sampah, belum tersedianya teknologi dan alur distribusi yang mumpuni untuk mengelola mendaur ulang sampah yang banyak dihasilkan, serta belum efektifnya pembiayaan dan belum meratanya retribusi untuk mendukung semua proses agar berjalan optimal.
“Semua masalah yang bisa jadi mendukung terbakarnya TPA menyentuh 5 aspek pengelolaan sampah yang penting untuk mendukung semua proses pengelolaan sampah, yaitu peraturan, kelembagaan, partisipasi sosial, teknis operasional, dan pendanaan. Lima aspek ini relevan diterapkan bukan hanya di hilir, yaitu sampah yang berakhir di tempat pemrosesan akhir sampah (TPA), tapi juga di hulu, yaitu produksi sampah dari sumber terkecil, yaitu individu,” kata Aprilia.
Kebakaran TPA juga menghasilkan emisi karbon dioksida (CO2), emisi PM13, dan 2misi PM23 yang berbahaya karena memiliki dampak yang tinggi pada pemanasan global akibat peningkatan gas rumah kaca. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan iklim dan peningkatan suhu. Selain itu, hasil terbakarnya sampah berdampak pada kesehatan masyarakat sekitar karena dapat menyebabkan gangguan pernafasan seperti asma hingga kanker, mengganggu sistem reproduksi, penyakit jantung, hingga kematian.
Berdasarkan hasil riset Waste4Change Insight (2022) tentang Riset Aktivitas Pembakaran Sampah Terbuka di wilayah Jabodetabek, ditemukan bahwa 240,25 gigagram per tahun sampah yang terbakar menghasilkan 12.627,34 gigagram per tahun emisi karbon dioksida, lalu 7,21 Gg per tahun emisi PM10, dan 2,35 Gigagram per tahun emisi PM2,5.
Untuk mencegah kejadian kebakaran di TPA, setidaknya ada tiga hal yang dapat dilakukan. Pertama, mulai menerapkan 3R (reduce, reuse, recycle) dari rumah masing-masing. Kedua, setiap pemangku kepentingan harus bisa saling terlibat. Lalu terakhir, mulai memasukan materi pemilahan sampah dari prasekolah sampai seterusnya, sehingga kepedulian sudah dipupuk sejak kecil.
“Dan sebetulnya saat ini Indonesia sudah memiliki peraturan dan kelembagaan yang dibutuhkan, edukasi pun sudah dijalankan. Namun, dalam hal implementasi belum berjalan optimal,” kata Aprilia.