Senin 11 Dec 2023 19:17 WIB

Tak Hanya Mikroplastik, Nanoplastik Ternyata Lebih Mengancam Kesehatan Manusia

Nanoplastik memiliki ukuran yang hampir tidak terlihat dan lebih mengancam manusia.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Nanoplastik berinteraksi dengan lingkungan dan organisme hidup dengan cara yang sama sekali berbeda dengan mikroplastik.
Foto: www.freepik.com
Nanoplastik berinteraksi dengan lingkungan dan organisme hidup dengan cara yang sama sekali berbeda dengan mikroplastik.

ESGNOW.ID,  JAKARTA -- Selain mikroplastik, manusia dan makhluk hidup lainnya tengah menghadapi ancaman yang lebih buruk dan berbahaya, yaitu nanoplastik. Penelitian awal yang dilakukan selama lima tahun terakhir menunjukkan bahwa nanoplastik berinteraksi dengan lingkungan dan organisme hidup dengan cara yang sama sekali berbeda dengan mikroplastik.

Mikroplastik berukuran dalam skala mikrometer, sedangkan nanoplastik hanya berukuran nanometer. Untuk memahami betapa kecilnya itu, bayangkan perbedaan antara ukuran bola basket WNBA dan sebutir beras. Mikroplastik juga biasanya masih terlihat oleh mata atau mikroskop biasa, sementara nanoplastik nyaris tidak terlihat.

Baca Juga

Nanoplastik terbentuk ketika potongan-potongan plastik yang lebih besar terurai karena sinar UV, gelombang, enzim alami, atau faktor lingkungan lainnya. Para peneliti baru-baru ini menemukan bahwa plankton dan udang karang Antartika di lautan mengurai mikroplastik dan mengubahnya menjadi plastik berukuran nano. Namun, nanoplastik juga dapat terurai dan terlepas ke udara, misalnya ketika seseorang memperbaiki pipa saluran pembuangan. Setelah mengudara, nanoplastik dapat melayang sejauh ribuan kilometer, hingga ke kutub bumi.

Ukuran nanoplastik yang sangat kecil merupakan salah satu alasan mengapa para ilmuwan belum juga mengantongi data dan kajian lebih dalam terkait hal tersebut.

"Ada cukup banyak penelitian tentang mikroplastik karena mereka lebih mudah dideteksi, Anda hanya perlu mikroskop. Nanoplastik jauh lebih kecil sehingga Anda membutuhkan teknik khusus untuk mendeteksinya," kata ahli kimia lingkungan Eric Lichtfouse seperti dilansir Vice, Senin (11/12/2023).

Profesor nanotoksikologi dari Oregon State University, Stacey Harper, menjelaskan bahwa sejauh ini metode terbaik mendeteksi nanoplastik bergantung pada jumlah pengambilan sampel di air laut dan proses filterisasinya, atau bisa juga dengan mengurai semua komponennya secara kimiawi dan mencari tanda kimiawi plastik. Namun proses filter tersebut mudah tersumbat oleh ganggang atau puing-puing lainnya, begitu pun penguraian secara kimiawi tidak memberikan gambaran tentang jumlah potongan nanoplastik.

Itu berarti, saat ini, kita tidak tahu berapa banyak jumlah nanoplastik yang mengambang atau hanyut di seluruh dunia. Kemungkinan nanoplastik sudah ada lebih dari 100 tahun sejak penemuan plastik, meskipun para ilmuwan baru mulai menelitinya dengan sungguh-sungguh dalam lima tahun terakhir.

“Dan tanpa penelitian yang tepat tentang nanoplastik, sulit untuk mengetahui seberapa besar risiko dari paparan dan toksisitas, serta beberapa faktor yang tidak diketahui. Saat ini, untuk nanoplastik, kami tidak tahu seperti apa eksposurnya. Dari sisi toksisitas, kami dibatasi oleh fakta bahwa sebagian besar penelitian dilakukan pada polystyrene spheres. Kami kekurangan informasi tentang produk konsumen sehari-hari yang terurai,” kata Harper.

Plastik pada dasarnya adalah rantai molekul yang panjang yang disebut monomer. Ketika monomer-monomer ini dihubungkan bersama, seperti pada PVC, mereka tidak berbahaya. Tetapi jika berdiri sendiri, seperti vinil klorida misalnya, mereka dapat menjadi racun. Ditambah lagi, bahan tambahan yang digunakan untuk mengikat plastik biasanya juga beracun dan dilepaskan ketika plastik terurai.

"Dibandingkan dengan polutan klasik seperti satu molekul pestisida, nanoplastik memiliki lebih banyak cara yang berbeda untuk menjadi racun," kata Lichtfouse.

Harper mengatakan bahwa penelitian saat ini mulai berfokus di mana dan seberapa jauh nanoplastik dapat membawa bahan kimia di dalam lingkungan. "Bahan kimia yang sangat mengkhawatirkan bagi kita adalah yang sangat hidrofobik, artinya mereka tidak suka air, sehingga mereka suka bergaul dengan nano partikel. Apa yang kita mulai pelajari adalah bagaimana hal itu mengubah nasib bahan kimia di lingkungan,” jelas dia.

Ketika berbicara tentang bagaimana nanoplastik dapat memengaruhi kesehatan, sebagian besar yang diketahui para ilmuwan berasal dari penelitian yang dilakukan di cawan petri atau hewan. Meski begitu, sebagian besar hewan tersebut adalah hewan air kecil atau hewan yang menyaring air untuk dimakan. Sejauh ini, peneliti juga belum mengetahui lebih banyak tentang apa yang dilakukan nanoplastik di dalam tubuh hewan, apalagi pada manusia.

Namun karena ukurannya yang jauh lebih kecil, nanoplastik dapat masuk ke tempat-tempat yang tidak dapat dimasuki oleh mikroplastik. Jika mikroplastik bisa masuk ke dalam organ tubuh hewan, nanoplastik bisa masuk ke dalam sel mereka.

Sebuah penelitian pada tahun 2023 menunjukkan bahwa nanoplastik menarik gumpalan protein tertentu, yang disebut alpha-synuclein, yang telah dikaitkan dengan penyakit Parkinson dan demensia. Hal ini terjadi pada sel-sel di dalam cawan dan tikus laboratorium. Penelitian sebelumnya pada ikan zebra menemukan bahwa nanoplastik dapat berpindah dari ibu ke bayi melalui plasenta.

Harper mengatakan bahwa berdasarkan penelitiannya terhadap ikan zebra, nanoplastik tidak terlalu beracun dalam jangka pendek. Namun, belum ada penelitian jangka panjang yang dapat mengungkap apa yang terjadi dengan tubuh manusia dan hewan jika terus-menerus terpapar nanoplastik.

"Inilah yang kita semua alami. Paparan seumur hidup terhadap partikel-partikel ini. Pada akhirnya akan menyebabkan komplikasi,” jelas Harper.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Advertisement
Advertisement
Advertisement