ESGNOW.ID, JAKARTA -- Sebuah penelitian terbaru menemukan bahwa nyamuk menua lebih cepat ketika suhu menjadi lebih panas. Penuaan ini, pada gilirannya, akan melemahkan sistem kekebalan tubuh nyamuk dan membuat mereka lebih mudah terinfeksi penyakit. Karena suhu global meningkat akibat perubahan iklim, temuan ini dapat berdampak besar pada populasi nyamuk dan penularan penyakit.
Studi yang dipublikasikan di Jurnal PLOS Pathogens ini dilakukan oleh mahasiswa pascasarjana ilmu biologi di Vanderbilt University, Lindsay Martin, dan Profesor Ilmu Biologi di Vanderbilt University, Julian Hillyer.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), penyakit yang ditularkan melalui vektor seperti Malaria dan virus Zika menyebabkan lebih dari 700 ribu kematian setiap tahunnya. Penyakit-penyakit ini menyumbang sekitar 17 persen dari semua penyakit menular, dan ditularkan oleh serangga penghisap darah seperti nyamuk. Dampak mengerikan dari penyakit yang ditularkan melalui vektor ini sebagian disebabkan oleh mekanisme penularan yang sangat sederhana, yaitu gigitan nyamuk yang terinfeksi.
Umumnya, ketika individu yang tidak memiliki kekebalan tubuh jatuh sakit, tubuh akan melakukan serangkaian respons imun (bayangkan demam yang menyertai Covid-19) untuk menghilangkan infeksi. Nyamuk juga melakukan respons imun untuk menghilangkan infeksi, tetapi sistem imun mereka telah berevolusi menjadi sangat sensitif terhadap lingkungan sekitarnya. Hal ini karena nyamuk merupakan hewan ektoterm, sehingga suhu tubuhnya berfluktuasi terhadap suhu lingkungan.
Menurut Martin, ini berarti suhu tubuh nyamuk akan meningkat dalam iklim yang memanas. Nyamuk, seperti halnya manusia, juga mengalami penuaan, yaitu melemahnya fisiologi mereka seiring bertambahnya usia.
"Jika nyamuk menua, mereka mengalami pelemahan sistem kekebalan tubuh ketika terpapar suhu yang lebih tinggi,” kata Martin seperti dikutip Phys, Rabu (31/1/2024)
Untuk mengukur respons nyamuk terhadap perubahan suhu, Martin memelihara nyamuk sejak lahir hingga mati di tiga ruang yang dikontrol suhu dan kelembabannya secara terpisah. Dia kemudian menginfeksi lebih dari 7.000 nyamuk dan mempelajari respons kekebalan tubuh mereka pada tiga usia dan suhu yang berbeda.
"Jika Anda menghitungnya, hasilnya adalah 48 kombinasi berbeda di tiga variabel yang berbeda. Analisisnya, secara komputasi, cukup kompleks,” kata ahli biologi Vanderbilt, Julian Hillyer, yang merupakan penasihat tesis Martin dan salah satu penulis di makalah tersebut
Makalah Martin dan Hillyer secara khusus berfokus pada satu respons imun yang disebut melanisasi, di mana nyamuk membentuk cangkang keras melanin di sekitar patogen untuk membuat mereka kekurangan nutrisi. Melanisasi dapat diamati di sepanjang dinding perut nyamuk di bawah mikroskop. Martin menemukan bahwa nyamuk menua lebih cepat pada suhu yang lebih tinggi, yang pada gilirannya melemahkan respons melanisasi.
Dalam penelitian selanjutnya, Martin dan Hillyer berencana untuk mempelajari bagaimana peningkatan suhu berdampak pada respons kekebalan tubuh selain melanisasi. Mereka juga berharap untuk membuat hubungan antara melemahnya sistem kekebalan tubuh dan kelangsungan hidup nyamuk, yang dapat berimplikasi pada tingkat penularan penyakit.
"Ini rumit, karena jika nyamuk memiliki respon imun yang lebih lemah, dan lebih mungkin untuk terinfeksi, mereka juga berpotensi lebih besar untuk mati akibat infeksi. Dan jika mereka mati sebelum dapat menggigit korban manusia berikutnya, hal tersebut dapat mengurangi penularan penyakit,” kata Martin.
Martin juga menekankan implikasi dari penelitian ini terhadap serangga ektoterm lain, tidak hanya nyamuk. "Nyamuk adalah ektoterm, tapi begitu juga sebagian besar serangga. Kita benar-benar perlu menyelidiki bagaimana kenaikan suhu akan berdampak pada sistem pertanian, penyerbuk, dan serangga penular penyakit lainnya,” tambah dia.